BAB
II
PELAKSANAAN PERDA NO 2 TAHUN 2012
TENTANG PENYELENGGARAAN PARKIR DI SIDOARJO
A.
Pelaksanaan
Penyelenggaraan Parkir Berlangganan Di Sidoarjo
Dengan Otonomi Daerah, terjadi pergeseran peran
pelaku perekonomian nasional, meskipun pada intinya tetap bertumpu pada;
pemerintah, swasta, dan koperasi. Pemerintah Daerah menjadi pelaku utama dalam
perekonomian, karena dia dituntut mampu menggali dan mencari dana bagi
pembiayaan pembangunan sendiri.[13]
Pemerintah Daerah dituntut mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal dengan memanfaatkan peluang yang ada; baik itu dari sumber
sendiri (daerah), nasional, serta internasional. Sebaliknya setiap peristiwa
ataupun kejadian di dunia internasional dapat berdampak langsung kepada
penyelenggaraan di daerah, hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan.
Dalam kerangka pembanguna ekonomi seperti itulah peran ekonomi Pemerintah
Daerah diletakkan.[14]
Dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 6
menyebutkan bahwa PAD bersumber dari :
a. Pajak
Daerah
b. Retribusi
Daerah
c. Hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
d. Lain-lain
PAD yang sah.[15]
Sehubungan dengan peran pemerintah sebagai pelaku
ekonomi utama di daerah, maka pemkab Sidoarjo mencoba menerapkan pada
pelaksanaan parkir berlangganan yang berusaha meningkatkan PAD dengan
mewajibkan pemilik kendaraan yang berplat Sidoarjo membayar retribusi parkir.
Pada awalnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memangdang bahwa sektor parkir memiliki
potensi menjadi sumber dana yang bagus apabila dikelola sendiri oleh pemerintah
sehingga terdapat dua keuntungan yang dapat dirasakan sekaligus, yakni pendapatan
bagi Kabupaten Sidoarjo yang meningkat serta penataan parkir yang lebih rapi.
Pada awal tahun 2006 Pemkab Sidoarjo
mengundangkan Perda No 1 tahun 2006 tentang retribusi parkir dan mengalami
perubahan yaitu Perda No 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan parkir sebagai
landasan hukum untuk menetapkan besarnya retribusi dan pelaksanaannya
dilapangan. Perumusan
Perda Nomor 1 Tahun 2006 ini sempat ditentang oleh juru parkir yang bertugas di
wilayah Sidoarjo karena akan mematikan pekerjaan mereka, paling tidak
penghasilan mereka akan berkurang daripada saat pelaksanaan parkir non-berlangganan.
Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten
Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama
masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara
stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan. Kebijakan publik
dapat dipahami sebagai sarana untuk perebutan sumber-sumber kekuasaan (politik,
ekonomi serta berbagai sumber lainnya yang bisa diperebutkan dalam perumusan
kebijakan). Kebijakan pembayaran retribusi parkir secara berlangganan oleh Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo merupakan sarana perebutan sumber-sumber kekuasaan tersebut
antar masing-masing stakeholder. Stakeholder yang terkait dalam parkir
berlangganan antara lain adalah:
a)
Pemkab
Sidoarjo
Pemkab Sidoarjo sebagai Lembaga pembuat
kebijakan dalam hal perkir berlangganan dan mengesahkan Perda tentang Parkir,
yang bertujuan untuk mendapatkan PAD.
b)
DPRD
Kabupaten Sidoarjo
DPRD Sidoarjo sebagai lembaga pembuat
Peraturan Daerah untuk dijadikan landasan hukum / payung hukum untuk
menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pemkab.
c)
Dinas
Perhubungan
Lembaga ini bertugas sebagai pelaksana
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Parkir berlangganan serta melakukan
pengawasan terhadap jukir yang nakal atau curang, serta berwenang untuk
menindak setiap pelanggaran yang ada, dan dishub membuat karcis parkir untuk
digunakan kepentingan parkir .
d)
Masyarakat
Sidoarjo
Masyarakat Sebagai
penguna jasa atau yang menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Pemkab, serta
memenuhi kewajiban yang timbul akibat kebijakan tersebut, sebagai contoh
membayar retribusi parkir setiap tahun bagi pemilik kendaraan ber nopol
Sidoarjo.
e) Juru parkir kawasan parkir berlangganan.
Petugas
yang ditugaskan oleh perda melalui dishub yang bertugas untuk menjaga dan
mengatur parkir yang ada di Sidoarjo.
f)
Samsat
Sidoarjo
Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh
undang-undang sebagai tempat pembayaran retribusi parkir berlangganan bersamaan
dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor.
g)
Polres
Sidoarjo
Lembaga yang bertugas menindak,
menyelidiki, menyidik apabila terjadi pelangaran terhadap perda parkir
berlangganan.
h)
Dispenda
Instanti yang ditunjuk oleh
undang-undang sebagai pengelola hasil dari penarikan retribusi parkir
berlangganan. Serta melaporkan kepada Pemkab Sidoarjo hasil dari retribusi yang
dipungut dari masyarakat.
Perumusan kebijakan publik merupakan proses politik
dimana dalam proses tersebut terdapat kepentingan masing-masing stakeholder
yang harus diamankan sehingga terdapat interaksi kepentingan antar stakeholder
yang terlibat sehingga pada hasil perumusan nanti akan ada pihak/stakeholder
yang dikompromi kepentingannya sehingga akhirnya tidak puas dalam arti lain
ialah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Dari
pengamatan yang telah dilakukan selama penelitian ini berlangsung, implementasi
kebijakan retribusi berlangganan di Kabupaten Sidoarjo dirasa belum mencapai
hasil yang maksimal. Ditandai dengan pemasukan kas daerah (parkir berlangganan)
yang belum memenuhi target, Sangat ironis, Jumlah kendaraan di Sidoarjo terus
bertambah dari tahun ke tahun. Namun Dishub malah menurunkan target
pendapatannya tahun depan. Salah satu alasannya, target tahun ini tidak
tercapai. Berdasar data yang dihimpun Jawa
pos, tahun 2013 dishub menargetkan pendapatan retribusi dari parkir
berlangganan sebesar Rp.22.267.596.300. padahal target tahun 2012 sebesar
22.964.220.000.
Kendaraan
yang berlangganan di Sidoarjo tahun 2012 berjumlah 826.220 unit, terdiri atas
kendaraan roda dua, roda empat,san roda enam atau lebih. Jumlah tersebut
mencerminkan seluruh kendaraan bermotor yang beroperasi di Sidoarjo. Sebab, seluruh kendaraan
tersebut memang diwajibkan mengikuti progam parkir berlangganan. Pembayarannya
dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor.[16]
Kadishub
Sidoarjo berdalih, penurunan target itu beralasan. Perhitungan target retribusi
selama ini tidak memprediksi tidak memprediksi jumlah kendaraan yang dibayar
pajaknya, akibatnya tahun 2012 dishub hanya mampu memenuhi target retribusi
sebesar 90 persen.[17]
Berikut Statistik
parkir berlanggan:
JENIS KENDARAAN
|
JUMLAH
|
TARIF PERTAHUN
|
Roda Dua
|
716.345
|
Rp. 25 ribu
|
Roda Empat
|
85.212
|
Rp. 50 ribu
|
Roda Enam
|
24.663
|
Rp. 60 ribu
|
Target retribusi 2012 : Rp. 22.964.220.000
|
||
Realisasi : Rp. 20.754.231.000
|
||
Tak tercapai : Rp. 2.209.989.000
|
||
Target tahun 2013 : Rp. 22.267.596.300
|
Sumber data: koran Jawapos melalui dishub
Sidoarjo
Pada tahun 2013 Dishub memprediksi ada 12-14
persen kendaraan di Sidoarjo yang tidak membayar pajak. Jika tidak membayar
pajak, otomatis parkir kendaaraan tersebut tidak dibayarkan. Potensi pendapatan
dari parkir berlangganan tersebut menyumbang 26 persen dari total pendapatan
retribusi yang menjadi bagian dari pendapatan asli daerah (PAD) Sidoarjo.
Adapun hasil dari retribusi tersebut dibagi lagi kepada beberapa stakeholder,
antara lain:
a.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mendapatkan 82%
dari Retribusi parkir .
b.
Polres Sidoarjo mendapatkan 5% dari Retribusi parkir.
c.
Propinsi Jawa Timur Mendapatkan 13% dari
Retribusi parkir.
Meski demikian dishub bakal tetap
mempertahankan sistem parkir berlangganan. Fakta banyaknya jukir yang masih
meminta uang tidak ditampik. M. Husni Thamrin selaku Kadishub hanya berjanji untuk berupaya lebih tegas
dalam pengawasan para jukir tersebut. Senada dengan Husni, wakil UPT Parkir
Dishub Sidoarjo M. Jaelani mengakui bahwa masih ada jukir yang nakal, “ kami
masih berbenah dan berupaya semaksimal mungkin untuk membina para jukir”, ujarnya.[18]
Presentasi
jukir nakal memang cukup besar. Dishub memperkirakan, perbandingan antara jukir
baik dengan jukir nakal adalah 70:30. Artinya diantara 530 jukir, 159 orang
suka meminta uang parkir. Jumlah itu tergolong besar karena lokasi parkir
berlangganan di Sidoarjo berjumlah 279 titik. Abu Dardak menerangkan bakal
menerapkan sanksi tegas bagi jukir nakal.”Jika menemui jukir nakal, kami akan
langsung memanggil dan memberi peringatan. Jika mereka mengulangi lagi, tentu
kami putus hubungan kerjanya”, tegasnya.[19]
Selain
problem PAD, sosialisasi yang tidak merata sehingga pada pelaksanaannya di
lapangan masih ditemui banyak sekali kecurangan. Selain itu, Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2012 sendiri belum banyak mengatur tentang hak-hak maupun
kewajiban yang seharusnya dijalankan para aktor pembuat kebijakan dan
pelaksana. Terhenti dengan kewajiban bagaimana seharusnya masyarakat
menggunakan fasilitas parkir berlangganan serta jukir yang tetap harus
menjalankan tugasnya tanpa ada pungutan liar. Inilah yang membuat kebijakan ini
seolah-olah pincang karena hukum-hukum perlindungan bagi kedua belah pihak pun
belum jelas. Ada beberapa aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan
retribusi parkir berlangganan. Akan tetapi, aktor yang paling utama dalam
pelaksanaan kebijakan retribusi parkir berlangganan yaitu Bupati Sidoarjo.
Kemudian adanya dukungan dari beberapa aktor lainnya dalam pembuatan kebijakan
ini, yaitu Dispenda tingkat I Jawa timur, Gubernur, serta persetujuan dari pihak
kepolisian Jawa Timur dan Kabupaten. Pada kenyataannya pelaksanaan kebijakan
retribusi parkir berlangganan selama di lapangan tidak berjalan secara efektif
dan optimal.
B.
Faktor-faktor
penghambat pelaksanaan parkir berlangganan
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan yang dibuat pemerintah
kabupaten Sidoarjo pasti tidak lepas dari permasalahan. Dari permasalahan
tersebut terjadi karean adanya beberapa faktor. Adapun faktor penghambat pelaksanaan
parkir berlangganan diantaranya:
a) Kenakalan
para jukir yang memberi pungutan liar kepada pengguna retribusi parkir
berlangganan,
b) Lemahnya
pengawasan terhadap jukir, karena petugas pengawas terbatas
c) Adanya
ancaman dari jukir yang mau ditindak tegas oleh petugas Dishub.
d) Gaji
pengawas yang kecil, yaitu sebesar
Rp.1.000.000.-/Bulan.
e) Kurangnya
pro aktif dan antusias dari masyarakat pengguna parkir berlangganan untuk lebih
taat kepada peraturan yang sudah tertulis tentang pelaksanaan retribusi parkir
berlangganan di Kabupaten Sidoarjo,
f) Sedikitnya
lahan parkir yang disediakan oleh Pemkab Sidoarjo, yang tidak menjangkau pada
daerah plosok atau perbatasan.
g) Tidak
disebutkannya perlindungan hukum dan hak yang tertulis di dalam Peraturan
Daerah nomor 2 tahun 2012 untuk masyarakat.
Sehingga
kenyataannya, peraturan Daerah nomor 2 tahun 2012 yang mengatur tentang
Penyelenggaran parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo belum berjalan secara
efektif dan optimal selama pelaksanaannya di lapangan. Diharapkan kedepannya,
masing-masing pihak dapat saling memahami peranan dan tugasnya masing.
Bagaimana aktor-aktor pembuat kebijakan bisa membenahi kebijakan-kebijakan yang
telah ada, dan sebagai pelaksana di lapangan jukir dan masyarakat dapat
mendukung kebijakan tersebut dengan mentaati peraturan yang telah ditetapkan.
Selain
Faktor Penghambat pelaksanaan parkir berlangganan, adapula permasalahan berhubungan
dengan keluhan dari Stakeholder yang
terlibat dalam pelaksanaan parkir berlangganan, antara lain :
a.
Masyarakat
pengguna jasa parkir
Kebanyakan
masyarakat Sidoarjo tidak setuju dengan adanya parkir berlangganan ini, karena
masyarakat sering dirugikan. Mulai banyaknya pungutan liar yag dilakukan oleh
jukir resmi, keamanan kendaraan tidak terjamin, kurangnya titik parkir.[20]
b.
Jukir
Sering
adanya laporan tentang pungutan liar yang dilakukan oleh jukir tidak terlepas
dari keluhan para jukir. Antara lain Seringnya gaji yang telat, Gaji jukir yang
minim yaitu sebesar Rp. 700.000,-/bulan, hal ini jauh dari KHL yang ditetapkan
oleh Gubernur Jatim, serta mahalnya karcis yang harus dibeli oleh jukir di
Dishub, yaitu Rp. 100,000,- /bendel untuk Motor dan Rp. 150,000,-/bendel untuk
Mobil, sehingga jukir tidak punya untung dalam penjualan karcis..Selain itu
para jukir harus setor kepada pemilik lahan. Ucap jukir Depan CB Phone Sidoarjo [21]
c.
Pengawas
Dishub
Tidak hanya masyarakat
dan jukir yang mempunyai keluhan, begitupun juga petugas pengawas parkir
berlangggananpun juga mempunyai kendala, yakni minimnya gaji petugas pengawas, kurangnya
fasilitas tempat yang digunakan untuk melakukan pengawasan, mulai dari tidak
adanya toilet, tendanya kurang layak, karena kalau hujan pasti petugas terkena
percikan air hujan, selain itu juga sering bingung dengan jukir resmi, karena
jukir resmi seringkali menyerahkan rompinya ke jukir tidak resmi.[22]
C.
Kinerja
Fungsional Dalam menjalankan kebijakan
Suatu kebijakan terdapat penilaian
kinerja fungsional yang bertujuan untuk mendapatkan suatu kerjasama antara
stakeholder yang terkait dalam sutau kebijakan. Adapun kinerja fungsional
terdiri dari:
a)
Fungsi
Representasi
Kinerja
representasi merujuk pada hakikat keberadaan DPRD sebagai wakil rakyat dalam
kehidupan suprastruktur politik sosial ekonomi budaya. Untuk menjalankan fungsi
representasi, setidaknya terdapat tiga mekanisme yang dijalankan DPRD
Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Pertama, representasi aktif. Mekanisme yang
ditempuh untuk menjalankan fungsi ini, yaitu melalui kunjungan lapangan. Atas
inisiatif sendiri, DPRD terjun ke masyarakat untuk mengetahui persoalan dan
kondisi masyarakat. DPRD bisa berdialog langsung dengan masyarakat, atau
terlibat dalam diskusi dengan komponen-komponen masyarakat. Mekanisme ini
sering pula dikaburkan dengan fungsi sosialisasi yang seharusnya dijalankan
pemda, tidak jarang DPRD terjun ke masyarakat dalam kerangka soskalisasi program
pembangunan. Kedua, representasi pasif. Kebalikan dari mekanisme pertama, DPRD
bersifat pasif menunggu laporan atau pengaduan dari masyarakat mengenai suatu
maslalah atau aspirasi tertentu. Pengaduan yang diterima DPRD selama ini, lebih
banyak yang berasal dari kelompok masyarakat atau datang secara berkelompok.
DPRD kemudian menindaklanjutinya dengan mengkoordinasikan masalah bersama
instansi terkait di Pemda, atau melakukan fasilitas tersendiri. Ketiga
representasi reaktif. DPRD akan terjun ke masyarakat bila muncul maslah,
terutama karena pembirtaan media massa. Selain itu juga dengan memanggil
eksekutif untuk melakukan hearing mengenai persoalan yang muncul di masyarakat.
Atau DPRD bersedia diundang masyarakat untuk membahas suatu masalah.[23]
b)
Fungsi
Legislasi
Dalam teori klasik tentang pemisahan
kekuasaan, Legislasi adalah fungsi utama lembaga legislatif yang membedakannya
dengan lembaga eksekutif. Legislasi dipahami sebagai fungsi lembaga yang
memproduk aturan. Sementara lembaga eksekutif berfungsi menjalankan atau
mengeksekusi aturan. Teori yang membuat garis tegas antara fungsi lembaga
eksekutif dan legislatif, dalam praktiknya tidak berjalan. Karena di banyak
negara yang terjadi justru eksekutif lebih dominan dalam memproduk aturan.
Sementara lembaga legislative cenderung pasif, membahas dan menyetujui aturan
yang diajukan eksekutif atas nama rakyat. Kalau memang ada inisiatif, jumlahnya
sangat kecil bila dibandingkan inisiatif yang berasal dari eksekutif. Begitupun
dalam praktiknya di Indonesia, Pemerintah lebih dominan berinisiatif untuk
mengajukan undang-undang dibanding DPR. Di daerah pun ternyata tidak jauh
berbeda, pemerintah daerah lebih dominan dibanding DPRD.[24]
c)
Fungsi
Kontrol
Kinerja
kontrol berkaitan dengan fungsi pengawasan DPRD terhadap jalannya pemerintahan
beserta program-programnya yang diemban eksekutif. Baik dalam prosedur maupun
hasil capaian yang telah dikerjakan. Sebagai pemegang mandat dari rakyat, maka
DPRD adalah wakil rakyat dalam mengawasi kinerja eksekutif. Sehingga wajar kiranya
bila pengawasan itu dilakukan atas nama rakyat. Pentingnya pengawasan dilakukan
DPRD, terutama ditujukan pada upaya agar kinerja eksekutif berdampak pada
kemajuan daerah, kemajuan masyarakat. Pengawasan bukan saja dilakukan dengan
tujuan untuk mengungkap distorsi kinerja eksekutif, melainkan untuk “mengawal”
agar program dan rencana yang sudah dicanangkan dengan mengatasnamakan publik,
bisa diwujudkan dengan baik. Untuk itu dibutuhkan inisiatif-inisiatif agar DPRD
bisa menjalankan fungsi ini. Pengawasan efektif, tidak sekedar merupakan
manifestasi “kecerdasan” DPRD untuk menyiasati mekanisme pengawasan hingga
menjadi proporsional, dan mampu mengawal mandat yang diberikan rakyat.[25]
Kinerja
Pengawasan menjadi begitu penting dan berarti, bila sijalnkan dengan cara-cara
yang proporsional dan tidak menimbulkan berbagai spekulasi tentang hubungan
antara DPRD dengan Eksekutif. Kinerja pengawasaan bukan ditujukan untuk
menunjuk kekuasaan DPRD atas eksekutif, tetapi untuk kemitraaan yang tetap
menjujung tinggi nilai-nilai keadilan, profesional, obyektif, dan kejujuran.
D.
Mekanisme
Pemungutan Retribusi Parkir.
Retribusi ditetapkan dengan peraturan daerah, dan
Peraturan Daerah tentang retribusi tersebut tidak berlaku surut. Peraturan
Daerah tentang retribusi sekurang-kurangnya mengatur tentang ketentuan
mengenai:
a) Nama,obyek,
dan Subyek retribusi;
b) Golongan
retribusi;
c) Cara
mengukur tingkat pengguna jasa yang bersangkutan;
d) Prinsip
yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi;
e) Struktur
dan besarnya tarif rettribusi;
f) Wilayah pemungutan;
g) Tata
cara pemungutan;
h) Sanksi
administrrasi;
i)
Tatacara penagihan;
j)
Tanggal mulai berlakunya.[26]
Pemungutan retribusi parkir di Sidoarjo
menurut Peraturan Bupati No. 35 tahun 2012 tentang Pelayanan Parkir Oleh
Pemerintah kabupaten Sidoarjo pasal 6 menjelaskan bahwa, Pemungutan retribusi
pelayanan parkir dilakukan :
a. Secara
langsung, dan
b. Secara
berlangganan
Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara
langsung sebagaimana dimaksud pasal 6 (1) huruf a dipungut oleh Dinas
Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, pemungutan retribusi baik parkir tepi jalan
umum, parkir ditempat khusus, maupun parkir insidentil dilaksanakan oleh
petugas parkir dengan menggunakan bukti pembayaran berupa media pungut. Media
Pungut hanya berlaku satu kali parkir dan sesudahnya tidakdapat dipakai lagi.
Sedangkan Pemungutan retribusi pelayanan
parkir secara berlanggganan sebagaimana dimaksud pasal 6 (1) huruf b dilakukan
dengan cara kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah
Provinsi Jawa Timur dan Kepolisian Resort Sidoarjo, adapun pemungutan retribusi
dilakukan terhadap kendaraan bermotor yang terdaftar pada Kantor Bersama SAMSAT
Sidoarjo pada saat perpanjangan STNK/BBNKB. Setiap pemilik kendaraan bermotor
yang telah membayar retribusi parkir berlangganan diberi tanda bukti pelunasan
yang telah diporporasi dan bernomor seri serta stiker. Retribusi parkir berlangganan berlaku untuk pelayanan parkir
tepi jalan umum dan parkir di tepat khusus parkir milik Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo.
[13] Eko Sugiarto, Wajah Ganda Otonomi Daerah, Surabaya:Media
Karya, 2005, hal 26
[14] Ibid, hal 27
[15] Lihat Pasal 6 UU No 33 tahun 2004
tentang OTODA
[16] Oni, Dishub Loyo Tangani Parkir Berlangganan, Jawa Pos, 20 Desember
2012, hal 41
[17] ibid
[18] Wawancara dengan bapak M. Jaelani
wakil UPT parkir dishub Sidoarjo. Tanggal 18 Juli 2013, pukul 10.00 wib
[19] Ibid.
BAB
III
UPAYA
HUKUM KONSUMEN TERHADAP KERUGIAN JASA PARKIR BERLANGGANAN DI SIDOARJO
A.
Upaya
Hukum Bagi Konsumen/Masyarakat Pengguna Jasa Parkir di Sidoarjo yang Dirugikan.
Undang-undang No 8 tahun 1999 memiliki ketentuan
yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan
perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah
diatur khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah
dipelajari juga peraturan perundangan-undangan tentang konsumen dan/atau
perlindungan konsumenini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan
umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau
masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.[27]
Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen sering
terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa
dirugikan oleh suatu produk atau jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada
tiga masalah yang sering menjadi bahan diskusi, yakni:
a) Masalah
prinsip ganti rugi yang didalamnya mencakup sistem pembuktian;
b) Masalah
lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya peranan
lembaga-lembaga diluar pengadilan; dan
c) Yang
akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak
(gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action).[28]
Konsumen dalam hal ini pengguna jasa parkir
seringkali mengalami kerugian dalam segi pelayanan, adanya unsur paksa dalam
menarik uang parkir meskipun konsumen tiap tahun sudah bayar biaya retribusi
parkir berlangganan. Setiap konsumen mempunyai hak menuntut ganti rugi, bagi
konsumen yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya hukum sebagai berikut :
a.
Mengajukan
gugatan secara kelompok (class action)
Gugatan kelompok atau lebih lazim
disebut class action atau class representative adalah pranata
hukum yang berasal dari sistem common law.
Walaupun demikian, banyak negara penganut civil law, prinsip tersebut diadopsi,
termasuk dalam UUPK Indonesia.
Gugatan
perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka
sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dengan anggota
kelompok yang dimaksud.[29]
UUPK
mengakomodasikan gugatan kelompok (class
action) ini dalam pasal 46 ayat (1) huruf (b). Ketentuan ini menyatakan
gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen
yang mempunyai kepentingan yang sama. Penjelasan dari rumusan itu menyatakan,
gugatan kelompok tersebut harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar
dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adanya
bukti transaksi.
Prinsip class
action berbeda dengan legal standing.
Umumnya class action wajib memenuhi
empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam pasal 23 US Federal of Civil Procedure meliputi[30] :
1) Numerosity (jumlah
orang yang mengajukan harus sedemikian banyaknya).Persyaratan ini mengharuskan kelas
diwakili(class members) sedemikian
besar jumlanya karena apabila gugatan satu demi satu(individual) sangat tidak
praktis dan tidak efisian.
2) Commonality
(kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of law antara pihak
yang mewakili dan pihak yang diwakili.
3) Typicality ,
artinya tuntutan (bagi penggugat) maupun
pembelaan (bagi tergugat) pada class
action haruslah sejenis
4) Adequacy of representation
(kelayakan perwakilan), artinya mewajibkan perwakilan kelas (class representatives) untuk menjamin
secara jujur dan adil serta melindungi kepentingan pihak yang mewakili.
Dengan memperhatikan ketidaklengkapan
ketentuan Undang-undang No. 8 tahun 1999 yang mengatur persoalan class action
maka perlu di ikuti dengan peraturan pelaksanaannya lebih lanjut. Pengaturan
tentang persyaratan agar dapat melakukan gugatan dengan class action perlu diperjelas, karena tidak semu sengketan konsumen
dapat diajukan dengan class action,
demikian juga ketentuan mengenai proses
pemeriksaan permulaan untuk menentukan apakah dapat diperiksa dengan class
action atau tidak. Akan tetapi, tekanan yang penting disini adalah penerapan
asas bahwa peradilan dilakukan secara murah, cepat, sederhana, dan dengan biaya
ringan dapat dilakukan dalam pemeriksaan sengketa konsumen, karena pada umumnya
konsumen berada dalam posisi serba terbatas, baik dilihat dari segi
pengetahuan, keuangan, dan waktu. Oleh karena itu, prosedur class action
diharapkan dapat membantu terwujudnya asas tersebut.[31]
b.
Mengajukan
gugatan secara Legal Standing
Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima
kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang dimiliki
lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM (NGO’s Standing). Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam
pasal 46 ayat(1) huruf c: Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memnuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya oraganisasi tersebut
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya.
Dalam definisi yang diberikan oleh pasal 1 angka 9
UUPK, jelas ada keinginan agar setiap lembaga perlindungan konsumen swadday
masyarakat (LPKSM) itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa
pendaftaran dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak
dalam proses beracara di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM.
Secara administratif ada konsekuensi logis karena
pendaftaran dan pengakuan itu dengan sendirinya dicabut oleh piak yang
memberikan, dalam hal pemerintah, misalnya dengan alasan LPKSM menyimpang dari
fungsi dan tugas semula. Kewenangan demikian di satu sisi berguna untuk
mencegah munculnya LPKSM “gadungan” yang berpotensi merugikan konsumen, tetapi
disisi lain juga membuka kesempatan munculnya perlakuan diskriminatif
Pemerintah terhadap LPKSM tertentu yang kritis.
Untuk memiliki Legal standing tersebut LPKSM yang
menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkaa yang
diajukan. Inilah perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dan
NGO’s legal standing.[32]
c.
Small Claim Court
Konsep Small Claim Court merupakan
suatu usaha untuk membantu konsumen dalam mendapatkan perlindunga hukum dengan
menrapkan asas hukum berperkara murah, cepat, sederhana, dan biaya ringan. Hal
ini disebabkan oleh small claim court
adalah semacam peradilan kilat, dengan hakim tunggal, tanpa ada keharusan
menggunakan pengacara, berbiaya ringan, dan tidak ada upaya banding. Sengketa
pada umumnya mempunyai nilai nominal kecil, sehingga tidak praktis apabila
gugatan untuk memita ganti rugi dilakukan melalui peradilan umum. Peradilan
umum selain mahal juga membutuhkan waktu yang relatif lam dan prosedurnya cukup
rumit. Adanya smart claim court
diharapakan mampu memberikan akses kepada konsumen untuk menuntut ganti rugi
kepada pelaku usaha, meskipun nominal yang disengketakan sangat kecil.
Probematika
yang muncul adalah apakah UU No. 8 tahun 1999 mengatur mekanisme penyelesaian
sengketa konsumen melalui pemeriksaan semacam small claim court, UU ini memberikan jalan penyelesaian sengketa konsumen
melalui dua cara berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa, yaitu (1)
melalui peradilan umum, dan (2) penyelesaian dilura pengadilan.Apabila memilih
upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dan ternyata tidak
berhasil, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.[33]
B.
Prinsip
Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Pelayanan Jasa Parkir Berlangganan Di
Sidoarjo.
1
Prinsip-Prinsip
Tanggung jawab
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal
sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran
hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada
pihak-pihak terkait.[34]
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam
hukum dibedakan sebagai berikut:
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab
yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen/penyedia
jasa. Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap
hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori
tersebut, kelalaian produsen/penyedia jasa yang berakibat pada munculnya
kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan
tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian
produsen/penyedia jasa, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen/penyedia
jasa diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
a)
Pihak tergugat
merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan
tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
b)
Produsen tidak
melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar
yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
c)
Konsumen
penderita kerugian.
Kelalaian
produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen
(hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen). Dalam prinsip
tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat
responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
1) Tanggung
Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur
kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena
gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur
kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.
Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan
yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan
dalam mengajukan gugatan kepada
produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara
konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi
produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak
diketahui.
2) Kelalaian
Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan
kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan
hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan
hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti
kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan
konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas
pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum
dengan produsen.
3) Kelalaian
Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan
beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam
perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya
adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan
kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
4) Prinsip
Praduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbalik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung
jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya
keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan
kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan.
Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab
mutlak.
b) Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan
terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk
mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal
dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk
rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau
perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini
adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang
tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi
janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi
konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab
untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk
perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
a.
Pembatasan
waktu gugatan.
b.
Persyaratan
pemberitahuan.
c.
Kemungkinan
adanya bantahan.
d.
Persyaratan
hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
c) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung
jawab ini dikenal dengan nama product
liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran.
Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti
kerugian, ketentuan ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat
(konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan
produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab
ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat
atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau
tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan
mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
a.
Diantara
korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian
seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
b.
Dengan menempatkan
/ mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa
barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak
demikian dia harus bertanggung jawab.
2
Product
Liability
Secara
Historis, Product liability lahir
karena tidak ada keseimbangan tanggung jawab
antara Produsen/penyedia jasa dan konsumen. Dengan Lembaga ini
produsen/penyedia jasa yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran
produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen/penyedia jasa harus berhati-hati dengan
produknya, karena tanggung jawab dalam product
liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).[35]
C.
Penyelesaian
Sengketa Konsumen Terhadap Pelayanan Parkir Berlangganan Di Sidoarjo.
a.
penyelesaian sengketa di peradilan
umum (Litigasi)
Sengketa
konsumen di sini dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya suatu
sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim,
melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat
baik itu produsen ataupun konsumen. Pengadilan yang memberikan pemecahan atas
hukum perdata yang tidak dapat bekerja di antara para pihak secara sukarela. Dalam
hubungan ini Satjipto Rahardjo mengatakan:
“Pembicaraan
mengenai bekerjanya hukum dalam
hubungan dengan proses peradilan secara konversional melibatkan pembicaraan
tentang kekuasaan kehakiman, prosedur beperkara dan sebagainya”.[36]
Istilah “prosedur beperkara” didahului dengan
pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri.
Sebelumnya, itu berarti surat gugatan harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu
secara teliti dan cermat. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan :
(1) Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.[37]
Pada klasifikasi
yang pertama, yaitu seorang konsumen (atau ahli warisnya) tentu saja tidak ada
yang istimewa dilihat dari ketentuan
beracara. Hal yang menarik adalah pada klasifikasi kedua dan seterusnya.[38]
Pada klasifikasi
kedua, gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan yang sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengna gugatan dengan
mewakilkan kepada orang lain seperti diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR.
Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action. Kemudian klasifikasi
ketiga adalah lembaga swadaya masyarakat. Di sini dipakai istilah “lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat”. Klasifikasi ketiga ini
berkaitan dengan legal standing. LSM yang bergerak di lapangan
perlindungan konsumen ini boleh jadi terus bertambah banyak. Menjadi pertanyaan
apakah semua dari mereka berhak menklaim sebagai wakil konsumen? Persyaratan
yang diajukan oleh Pasal 46 ayat (1) huruf (c) masih terlalu umum. Untuk itu,
pertimbangan agar dilakukan semacam “akreditasi” tampaknya perlu dijajaki.
Syaratnya tentu saja badan yang mengakreditasi itu harus independen. Sayangnya,
Pasal 1 angka (9) dan Pasal 44 ayat (1) UUPK menutup kemungkinan itu dengan
menyatakan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat terdaftar dan
diakui oleh pemerintah. BPKN yang sebenarnya dapat mengambil alih tugas
demikian, juga tidak dimungkinkan menurut rincian tugas Pasal 34 UUPK.
Klasifikasi penggugat dalam sengketa konsumen yang keempat atau terakhir adalah
Pemerintah dan atau instansi terkait. Mereka baru akan menggugat pelaku usaha
jika ada kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Namun,
tidak disebutkan apakah gugatan demikian masih diperlukan jika ada gugatan dari
para konsumen, atau dapat dilakukan bersamaan waktunya dengan gugatan dari
pihak konsumen yang termasuk klasifikasi-klasifikasi satu sampai tiga.
Tampaknya, hal-hal itu tetap dibiarkan tanpa penjelasan karena menurut
ketentuan Pasal 46 ayat (3), masalah itu masih diperlukan pengaturan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebelum menyusun gugatan, kuasa hukum
terlebih dahulu menerima pemberian kuasa dari konsumen untuk memberikan bantuan
hukum mewakili kepentingan konsumen di pengadilan. Wujudnya dalam bentuk surat
kuasa yang secara jelas dan terperinci menyebutkan untuk apa kuasa itu
diberikan (surat kuasa khusus). Adanya kekeliruan atau cacat dalam pemberian
kuasa dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Kedua,
mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk di sini surat-surat
dan saksi-saksi. Hasil penelitian/pengujian laboratorium untuk komoditas
tertentu, seperti makanan/minuman, otomotif/kendaraan, air minum (PAM), dan listrik (PLN), sebenarnya dapat
membantu mengungkap/ membuktikan
dalil-dalil gugatan konsumen. Ketiga, kuasa hukum konsumen hendaknya menggali
sejauh mungkin hal-hal apa saja yang sudah dilakukakn konsumen, misalnya
menyurati produsen, wawancara dengan media massa/elektronik atau menulis surat
pembaca di media massa. Ini penting guna memperhitungkan kemungkinan adanya
gugatan balik berupa pencemaran nama baik dari produsen. Keempat, menyangkut
kompetensi/kewenangan mengadili secara absolute (atribusi kekuasaan kehakiman
di antara peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, atau peradilan
tata usah Negara) maupun kewenangan
mengadili secara relatif (di antara peradilan sejenis, mana yang berwenang
mengadili). Kompetensi relatif ini menyangkut mengenai kewenangan pengadilan
sejenis untuk mengadili tergugat sesuai ketentuan Pasal 118 HIR. Prinsip yang
berlaku, yaitu gugatan diajukan pada pengadilan negeri di daerah hukum tergugat
berdiam (berdomisili atau jika domisilinya tidak diketahui, diajukan di tempat
tinggal tergugat sebetulnya (actor sequitur forum rei). Tempat tinggal
seseorang dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduknya (KTP)-nya.
b.
Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan (non litigasi)
Asas
hukum yang berbunyi point d’interet,
point d action (tiada kepentingan, maka tidak ada aksi) menggambarkan bahwa
gugatan diajukan untuk mempertahankan hak (kepentingan) orang atau badan hukum
yang dilanggar. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan,
maka ia tidak dapat mengajukan gugatan. Pada umumnya, suatu gugatan diajukan
oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk kepentingan mereka, atau juga
oleh satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan badan hukum itu sendiri,
yang dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang kuasa. Kompetensi
ini didasarkan pada kualitas mereka sebagai persona standi in judicio, yang memberikan kewenangan dalam hukum untuk
bertindak sebagai pihak dalam suatu proses perkara perdata, baik sebagai pihak
yang menggugat maupun sebagai pihak yang digugat.
Dengan maraknya
kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/diferrence) antara para pihak
yang terlibat, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan
(litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang sering
mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif, yaitu karena ingin memangkasa
birokrasi perkara, biaya, dan waktu, sehingga relatif lebih singkat dengan
biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmoni sosial (social harmony) dengan mengembangkan
budaya musyawarah dan budaya nonkonfrontatif. Melalui jalan tersebut
diharapakan tidak terjadi prinsip lose
win akan tetapi win-win, para
pihak merasa menang sehingga menghindarkan terjadinya hard feeling dan lose face.
Di indonesia, ADR mempunyai daya
tarik khusus karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional
berdasarkan musyawarah mufakat. Beberapa hal dibawah merupakan keuntungan yang
sering muncul dalam ADR, yaitu :
a) Sifat
kesukarelaan dalam proses
b) Prosedur
yang cepat;
-
Keputusan yang non yudisial
-
Kontrol tentang kebutuhan organisasi
-
Prosedur rahasia
-
Fleksibilitas dalam merancang
syarat-syarat penyelesaian masalah
-
Hemat waktu
-
Pemeliharaan hubungan
-
Tingginya kemungkinan untuk melaksanakan
kesepakatan
-
Kontrol dan lebih mudah memperlihatkan
hasil
-
Keputusan bertahan sepanjang waktu.
Selanjutnya
mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-undang
No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.
Kemudian berdasarkan isi pasal 1 ayat 10 Undang-undang No 30 tahun 1999, maka
alternatif penyelesaian sengketa dapat dialkukan dengan cara sebagai berikut:
1)
Konsultasi
Pada prinsipnya
konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” anatra suatu pihak
tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak yang merupakan “konsultan”
yang memberikan pendapat kepada klien tersebut untuk memnuhi keperluan dan
kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk
menerima pendapatnya atau tidak.
2)
Negoisasi
Negoisasi adalah proses
konsensus yang digunakan para pihak untuk meemperoleh kesepakatan diantra
mereka. Negoisasi menurut Roger Fisher dan William Ury adalah komunikasi dua
arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negoisasi digunakan apabila
komunikasi antarpihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada
rasa saling percaya dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan
menruskan hubungan baik.
3)
Mediasi
Dalam pasal 6 ayat (3)
UU No.30 tahun 1999 dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasiha ahli maupun mediator. Mediasi merupakan negoisasi pemecahan masalah
dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial)
bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kespakatan
perjanjian dengan memuaskan. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk
memutuskan sengketa.
4)
Konsiliasi
Konsiliasi tidak jauh
berbeda dengan pedamaian, sebagaimana diatur dalam pasal 1851 KUHPerdata.
Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan
adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian diluar pengadilan.
Untuk mencegah dilaksanakannya proses peradilan (litigasi), melainkan juga
dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik didalam maupun
diluar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga mengupayakan pertemuan
diantara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga
selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para
pihak yang sedang bersengketa. Ketentuan Konsiliasi dapat dilihat dalam
ketentuan UU No.30 tahun 1999 pasal 1 ayat (10) dan alinea 9 dalam penjelasan
umum. Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara
bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri.
Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para
pihak.
5)
Penilaian
Ahli.
Yang dimaksud dengan penilaian ahli
adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam suatu bentuk kelembagaan,
arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan
pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu
perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini
atau pendapat hukum atas permintaan dari setia pihak yang melakukannya.
BAB
IV
PENUTUP
Sebagai
bahan akhir dari penilitian skripsi ini, maka sampailah pada penulisan untuk
menyampaikan beberapa pokok kesimpulan dan saran sebagaimana terurai dibawah
ini.
A.
KESIMPULAN
1
Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten
Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama
masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara
stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan. Dalam
pelaksanaan Perda No 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo
mengalami banyak kendala dan beberapa keluhan dari para pihak yang turut serta
dalam perda tersebut. Dan yang paling utama merasakan dampak negatif dari perda
tersebut adalah konsumen pengguna jasa atau disebut masyarakat yang ada di
Sidoarjo khususnya yang mempunyai kendaraan bermotor. Konsumen diwajibkan
membayar retribusi akan tetapi dalam pelayanan parkir seringkali konsumen
dirugikan.
2
Dalam hubungan dengan perlindungan
konsumen sering terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen
karena merasa dirugikan oleh suatu produk atau jasa. Dalam kaitan ini,
setidak-tidaknya ada tiga masalah yang sering menjadi bahan diskusi, yakni:
1) Masalah
prinsip ganti rugi yang didalamnya mencakup sistem pembuktian;
2) Masalah
lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya peranan
lembaga-lembaga diluar pengadilan; dan
3) Yang
akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak
(gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action)
B.
SARAN
1
Pemerintah kabupaten Sidoarjo selaku
pembuat kebijakan parkir berlangganan yang mempunyai kewenangan dibidang
pelayanan, dalam hal pelayanan pemkab sidoarjo bekerjasama dengan dishub
sidoarjo, perlu untuk melakukan pembenahan dalam sistem parkir di Sidoarjo.
Khususnya dalam pelayanan yang selama ini dikeluhkan para konsumen
(masyarakat).
Diharapkan Dishub
sebagai perwakilan pemkab Sidoarjo dalam pelaksanaan parkir berlangganan
melakukan tindakan sebagai berikut:
a.
Menindak tegas terhadap jukir yang
nakal,
b.
Melakukan evaluasi dalam perekrutan jukir,
c.
Memberikan pengawasan dan pengecekan yang
lebih ketat terhadap petugas jukir resmi,
d.
Mengkaji ulang gaji para jukir.
e.
Memberikan fasilitas yang layak kepada
pengawas
f.
Memperluas kawasan parkir berlangganan,
khususnya di daerah perbatasan.
g.
Memperbaiki sistem perparkiran yang
selama ini jukir tidak memberikan bukti karcis resmi bagi pengendara motor yang
berlangganan, supaya memberikan bukti karcis yang bertujuan untuk bukti apabila
terjadi kehilangan kendaraan bermotor.
h.
Sering melakukan sosialisasi ke setiap
kelurahan/Desa yang bertujuan supaya masyarakat antusias dan mendukung program
parkir berlangganan
2
Dalam penyelesaian sengketa konsumen
sebaiknya pemkab membuat suatu tim untuk menangani keluhan konsumen dalam
bentuk badan pengaduan masyarakat. Upaya penyelesaian sengketa konsumen melalui
upaya yang persuasif lebih efektif daripada melakukan upaya-upaya hukum,
mengingat upaya hukum memerlukan proses yang ribet, biaya mahal, tenaga dan
waktu yang cukup lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar