BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Selaras
dengan arah kebijakan pembangunan dibidang hukum yang antara lain
menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan
perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan
nasional dimana hal tersebut ditandai dengan perkembangan disegala bidang.
Krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 mengarah pada krisis yang
sifatnya multi dimensional yang berimplikasi pada munculnya kesadaran akan
pembaharuan dan pentingnya keterbukaan
dan pemberdayaan. Dalam periode itu munculah gerakan reformasi di Indonesia,
dimana buah dari gerakan tersebut adalah tumbangnya rejim orde baru.
Dalam
periode reformasi pasca jatuhnya rejim orde baru salah satu issue sentral yang
berkembang adalah pentingnya otonomi daerah yang lebih memberikan kebebasan
bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan sumber-sumber
daya yang dimiliki daerah tersebut. Issue otonomi daerah ini muncul akibat
adanya kebijakan pemerintah pusat yang tidak proporsional baik dalam hal
kewenangan yang diberikan kepada daerah maupun pembagian hasil pendapatan
daerah yang lebih banyak ke pusat. Keinginan masing–masing daerah untuk
mewujudkan otonomi yang lebih memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengatur
rumah tangganya sendiri terakomodir dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor: 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Otonomi
daerah tersebut menimbulkan dua konsekuensi logis yaitu disatu sisi menimbulkan
kebebasan daerah untuk mengatur rumah tangga daerahnya dengan sumber-sumber
daya yang dimiliki dan disisi lain daerah dituntut untuk semakin memaksimalkan
sumber–sumber pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah sebagai
akibat dari subsidi pemerintah pusat yang telah berkurang.
Kebijakan
Otonomi daerah lahir dengan tujuan untuk menyelamatkan pemerintahan dan
keutuhan negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu,
mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat
daerah dalam mengejar kesejahteraan, ternyata dalam perjalanannya mengalami
distorsi pemahaman yang sangat memprihatinkan. Distorsi itu bukan hanya
maelanda masyarakat awam yang memang belum berkesempatan menyerap informasi
yang lengkap tentang kebijakan ini, tetapi bahkan melanda pula kalangan top
elit pemerintahan kita dtingkat pusat. Kondisi ironis ini jelas mengaburkan
semua harapan kita tentang masa depan kehidupan masyarakat yang nasibnya sangat
dipengaruhi oleh pelayanan pemerintahan.[1]
Implikasi
langsung fungsi yang diserahkan daerah sesuai dengan UU No 22 tahun 1999 adalah
kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas yang menjadi tangging
jawabnya tersebut, kepada daerah diberikan sumber-sumber pembiayaan, baik melalui pemberian kewenangan
dalam pemungutan pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan
untuk pinjaman. Sistem pembiayaan tersebu merupakan langkah maju bila
dibandingkan dengan pengaturan-pengaturan yang selama ini berlaku. Dengan
kebijaksanaan tersebut sistem pembiayaan daerah sangat jelas.
Dalam
hal ini, Kepada Daerah telah diberikan kewenangan untuk memungut
pajak/retribusi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 18 tahun 1997 dan
telah disempurnakan dengan Undang-undang No 34 tahun 2000 yang lebih
mencerminkan kelekuasaan kepada daerah. Dengan UU No 34 tahun 2000 tersebut
yang ditindak lanjuti aturan pelaksananya dengan PP No 65 tahun 2001 tentang
Pajak Daerah, dan PP No 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, Kabupaten/Kota
diberikan kewenangan untuk memungut pajak selain ditetapkan dalam UU yang
tentunya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Demikian juga dengan
propinsi juga diberikan kewenangan untuk memungut retribusi selain yang
ditetapkan dalam peraturan pemerintah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
dalam Undang-undang.[2]
Dalam
kaitanya dengan otonomi daerah tersebut, Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu daerah
kabupaten/ kota yang minim sumber daya alam maka implikasi yang muncul atas
lahirnya kedua undang-undang tersebut adalah menggali secara maksimal
sumber-sumber pendapatanya, dimana salah satunya dengan memak simalkan potensi pajak
daerah, retribusi daerah sebagai sumber kontributor bagi Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Sidoarjo.
Dasar hukum yang dipakai oleh daerah kabupaten/ Kota
Sidoarjo berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menyangkut retribusi
daerah adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pasal 79 butir a terdiri dari :
1) Hasil
pajak daerah
2) Hasil
retribusi daerah
3) Hasil
perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
dan
4) Lain-lain
pendapatan asli daerah.[3]
Di masa otonomi
daerah tersebut PAD dianggap sebagai sebuah sektor pendapatan daerah yang
sangat strategis karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber
pendapatan daerah kabupaten/ kota untuk pembiyayaan pembangunan daerahnya,
sehingga dalam konteks tersebut peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi
daerah kabupaten/ kota semakin ditingkatkan kuantitas pendapatanya. Pendapatan
Asli Daerah (PAD) kabupaten/ kota salah satunya dari sektor retribusi daerah.
Dengan adanya Undang-undang
No 22 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah, Maka Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo mencoba mengimplementasikan dengan membuat kebijakan parkir
berlangganan yang mengacu pada perda No 1 tahun 2006 yang diperbarui menjadi
perda no 2 tahun 2012 tentang retribusi parkir. Berawal dari
keprihatinan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo dalam melihat kondisi
perparkiran yang kurang terkendali, dengan adanya ”preman parkir” yang memungut
setoran kepada juru parkir, maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengeluarkan
Peraturan Daerah (perda) nomor 1 tahun 2006
tentang Retribusi Parkir. Kebijakan ini dibuat bertujuan untuk
mengendalikan dan melancarkan serta memberantas jaringan-jaringan preman parkir
yang seringkali meresahkan masyarakat, sehingga bisa tertib dan terkendali.
Selain itu perda tersebut bertuj uan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah.
Akan tetapi, setelah enam tahun berjalan perda no 1 tahun 2006 tentang
Retribusi Parkir mengalami banyak kendala dilapangan sehingga pemerintah
kabupaten melakukan perubahan perda terebut menjadi perda No 2 tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Parkir di
Sidoarjo.
Dari perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah mengenai perda No 2 tahun 2012 sampai
saat ini masih menemui kendala dilapangan. Secara umum sering kali masyarakat
yang dalam hal ini disebut sebagai konsumen dirugikan dengan adanya kebijakan
ini, pada penerapakan kebijakan tersebut banyak terjadi pelanggaran
hak-hak konsumen, diantaranya, hak-hak individual konsumen retibusi parkir
belangganan, contohnya masih ada oknum petugas parkir yang
masih memungut/menerima uang parkir pada suatu obyek parkir yang telah
ditentukan pemerintah kabupaten dari konsumen dalam hal ini masyarakat, dimana
masyarakat telah dibeani biaya parkir berlangganan tiap tahun dan dibayarkan
pada saat kita mengurus pajak atau perpanjangan STNK (Surat Tanda Nomor
Kendaraan) sebesar Rp 25.000,- untuk Motor, sedangkan Rp.50.000.- untuk Mobil.
Dan apabila wajib pajak kendaraan berada di luar kota Sidoarjo, apakah menguntungkan
bagi masyarakat yang mengalami hal ini?.
Dengan demikian maka kebijakan
tersebut harus didukung dengan fakta-fakta yang ada dan relavan dalam
masyarakat. Adanya pernyataan tersebut apabila tidak sesuai dengan fakta yang
sesungguhnya merupakan suatu bentuk kebijakan yang menyesatkan. Dalam hal ini
penyebab kerugian yang diderita oleh konsumen parkir berlangganan adalah pemkab
sebagai pihak penyedia jasa yang melakukan kebijakannya dengan menerapkan
parkir berlangganan. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi
adalah kebijakan pemkab yang memberlakukan parkir berlangganan, dimana kebijakan
yang dibuat dalam perda No 2 tahun 2012 tersebut ternyata tidak sesuai dengan
jasa yang diharapkan dan terkesan adanya unsur pemaksaan dalam pemungutan
retribusi. Hal ini menjadi penyebab kerugian yang di derita konsumen yang
kebanyakan berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Di samping itu pula
akan dijelaskan mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen dalam
menuntut hak-haknya.
Dalam pelayanan umum (public services), masyarakat konsumen
pasti sudah sering kena pungutan, seperti sumbangan, kupon, retribusi, dan
seterusnya.Instansi yang memerlukan dana tampaknya mengetahui mudah memenuhi
targetnya bila dititipkan pada pelayanan publik/umum. Apalagi pelayanan umum
itu sendiri masih punya banyak masalah terutama menyangkut pelayanan produk
jasa yang diberikan kepada konsumen.[4]
Dari hal tersebut diatas bahwa sangat jelas sekali masyarakat terbebani dengan
biaya retribusi yang tidak mengedepankan kepuasaan pelanggan.
Di Indonesia sendiri telah
diberlakukan peraturan perundang-undangan yang akan memberikan perlindungan
terhadap konsumen dalam memanfaatkan atau memakai produk dari produsen.
Peraturan perundang-undangan yang di maksud adalah Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya di singkat dengan UU No. 8
Tahun 1999). Dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan kewajiban-kewajiban kepada
pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha, sehingga tidak menimbulkan
kerugian bagi konsumen.
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, penulis akan mengupas lebih lanjut, ditinjau
dari sudut pandang yuridis. Oleh karena itu untuk rnengkaji lebih dalam
mengenai impelmentasi perda No 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan parkir di
Sidoarjo dan perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam hal ini disebut
sebagai konsumen pengguna jasa parkir belangganan, maka penulis akan
mengajukannya sebagai bahan skripsi dengan judul : “Iplementasi Perda No 2 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Parkir Di
Sidoarjo Dikaitkan Dengan Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen”.
B.
Perumusan Masalah
Dari latar
belakang yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dibuat perumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana Pelaksanaan Perda No 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Parkir di Sidoarjo ?
2.
Bagaimanakah upaya yang ditempuh
oleh pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan pajak parkir di Sidoarjo ditinjau
dari Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen?
C.
Tujuan Penelitian
Ada dua
tujuan penelitian, antara lain:
1)
Tujuan Umum
Tujuan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk:
a)
Mengetahui tentang pelaksanaan perda No 2
tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo.
b)
Mengetahui tentang
upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan
pajak parkir di Sidoarjo.
2)
Tujuan Khusus
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Bhayangkara Surabaya
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberiakn
manfaat, baik yang bersifat teoritis maupun praktis:
1) Secara Teoritis
a.
Penelitian ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan tentang studi di bidang hukum, khususnya hukum
perdata dalam hal perlindungan konsumen.
b.
Penelitian ini diharapkan
dapat sebagai acuan bahan dalam pembelajaran khususnya hukum yang bertujuan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
2) Secara Praktis
a.
Penelitian ini dapat
memberikan tambahan wawasan bagi pembaca khususnya penelitian yang sejenis pada
masa yang akan datang.
b.
Bagi pengambil keputusan, diharapkan
penulisan ini dapat menambah wawasan dalam menyelesaikan kasus serupa.
E.
Kerangka Teori
1)
Perlindungan Konsumen
a.
Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau
perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau
sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan
dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai
pemakai barang dan jasa
Perlindungan
Konsumen pada dasarnya merupakan bagian penting dalam ekonomi pasar (laissez
faire). Di pasar bebas, para pelaku usaha menawarkan produk dan jasa dengan
tujuan mencari keuntungan di satu sisi, berhadapan dengan para pembeli dan
konsumen yang ingin memperoleh barang dan atau jasa yang murah dan aman di sisi
lain. Tetapi di dalam pasar bebas, kedua pihak itu tidak memiliki kekuatan yang
sama. Posisi pihak pelaku usaha jauh lebih kuat ketimbang para konsumen yang
merupakan perorangan, karena penguasaan informasi tentang produk sepenuhnya ada
pada produsen.
Makna
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pada hakekatnya, terdapat dua
instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen
di Indonesia, yakni ;
Pertama,
Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem
pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu
menumbuhkan kembangkan dunia usaha yang memproduksi barang
dan/
jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Kedua,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK).
Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat
Indonesia,
untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas
transaksi
suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi
konsumen.
Adapun
yang dimaksud dengan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 1 ayat (2) adalah ; “Setiap pemakai barang dan/jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Perlindungan
terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat
penting, mengingat lajunya ilmu pengetahuan umum dan teknologiyang merupakan
motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa
yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar
dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung,
maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian
upaya-upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen merupakan suatu hal
yang terpenting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya.
Dalam
pelayanan umum (public services), masyarakat konsumen pasti sudah sering kena
pungutan, seperti sumbangan, kupon, retribusi, dan seterusnya.Instansi yang
memerlukan dana tampaknya mengetahui mudah memenuhi targetnya bila dititipkan
pada pelayanan publik/umum. Apalagi pelayanan umum itu sendiri masih punya
banyak masalah terutama menyangkut pelayanan produk jasa yang diberikan kepada
konsumen.[5]
Dari hal tersebut diatas bahwa sangat jelas sekali masyarakat terbebani dengan
biaya retribusi yang tidak mengedepankan kepuasaan pelanggan.
b.
Asas-asas Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada
sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam
implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,
hukum perlindungankonsumen memiliki dasar pijakan yang benar- benar kuat. Berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan Konsumen, antara lain:
a)
Asas manfaat
Maksud asas ini
adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen
dan pelau usaha secara keseluruhan.
b) Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi
seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
c) Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti material maupun spiritual.
d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e) Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
c.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa
tujuan
perlindungan
konsumen adalah sebagai berikut:
a)
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b)
mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c)
Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
d)
Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi.
e)
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f)
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
d.
Hak dan Kewajiban Konsumen
A. Hak-hak Konsumen
Sebagai pemakai
barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang
hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang
kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap
dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa
bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU
Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
a)
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
b)
Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
.
c)
Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
d)
Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
e) Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
f)
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
g)
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
h)
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban
pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut
ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi ” persaingan curang”.
B. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
a)
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
b)
Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c)
Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati;
d)
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2)
Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari dua kata : auto
berarti sendiri, nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan.
Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan
mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah“mengurus rumah
tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau
menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Dalam Undang-undang No 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah pasal 1 huruf h dijelaskan :
“Otonomi Daerah adalah
kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.[6]
Otonomi
daerah adalah salah satu bentuk nyata dari praktek demokrasi. Dalam tatanan
masyarakat, demokrasi berbincang tentang kebebasan individu dan
kelompok-kelompok didala masyarakat; sedangkan dalam tataran hubungan
pusat-daerah, demokrasi menuntut adanya kebebasan daerah untuk mengatur dirinya
sendiri (Otonomi Daerah). Dalam tatran masyarakat, kebebasan individu bisa
dicapai disamping sebagai cara berjaga-jaga terhadap kemungkinan pelanggaran
hak-hak dan kepentingan masyarakat oleh negara. Dalam tataran hubungan
pusat-daerah mampu mengembangkan kemandirian dan hasil mencapai kemajuan
disegala bidang sesuai dengan pandangan dan kebutuhan masyarakatnya. Tentu saja
semuanya itu dilakukan dalam konteks negara-negara bangsa Indonesia.[7]
Tujuan
utama dari dari kebujakan desentralisasi tahun 1999 itu adalah, disatu pihak,
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani
urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari, memahami,
merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaatnya dari padanya.
Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan mampu berkosentrasi pada
perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Dilain pihak,
dengan Desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan
mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.[8]
Visi
Otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya
yang utama: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dibidang ekonomi,
otonomi daerah diastu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional didaerah, dan dilain pihak terbukanya peluang pemerintah
daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk megoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Misalkan dengan kebijakan penarikan
retribusi, pajak daerah dan intinya adalah pada Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sebagaimana telah diatur dalam UU No 22 tahun 1999.
Dalam
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pasal 79 butir a terdiri dari :
1. Hasil
pajak daerah
2. Hasil
retribusi daerah
3. Hasil
perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
dan,
4. Lain-lain
pendapatan asli daerah.
3)
Retribusi/Pajak Daerah
Pada tahun 1997, pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-undang No 18
tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang betujuan antara lain:
1.
Menyederhanakan berbagai
pengutan daerah dalam rangka mengurangi ekonomi biaya tinggi.
2.
Menyederhanakan sistem dan
administrasi perpajakan dan retribusi daerah untuk memperkuat fondasi
penerimaan daerah khususnya Dati II, dengan mengefektifkan jenis pajak dan
retribusi tertentu yang potensial.
Penyederhanaan pajak daerah
dan retribusi daerah dapat dilihat dari penyederhanaan jumlah pajak daerah dan
retribusi daerah yang ada sebelum dan sesudah undang-undang saat ini.[9]
a)
Pajak Daerah
Pajak
Daerah adalah iuran yang wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan kepala
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.[10]
b)
Retribusi Daerah
Retribusi Daerah
adalah pungutan sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan oleh pemerintah.
Dan mempunyai beberapa objek,antara lain:
1.
Jasa umum
2.
Jasa Usaha
3.
Perizinan tertentu
Jasa yang diselenggarakan oleh badan usaha milik
daerah bukan merupakan objek retribusi. Retribusi terbagi atas tiga golongan,
sebagai berikut:
1.
Retribusi jasa umum
2.
Retribusi jasa usaha
3.
Retribusi perizinan.
F. MetodePenelitian
1)
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah suatu jenis penelitian
yuridis empiris.Penyusunan skripsi ini menggunakan penelitian yuridis empiris
yang mengacu pada penelitian hukum langsung di lapangan, dengan didasarkan pada
wawancara, dan disertai perundang-undangan, literatur dari buku, internet, dan
artikel.
2)
Pendekatan masalah
Dalam penulisan skripsi ini,
saya menggunakan pendekatan social legal, social legal yaitu Pendekatan yang
digunakan untuk memberikan gambaran secara kualitatif tentang pelaksanaan perda
dalam realita di masyarakat/lapangan.
Pendekatan empiris dimaksudkan ialah sebagai usaha
mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai
dengan kenyataan dalam masyarakat[11]. Kenyataan
yang terjadi di masyarakat adalah terjadinya penyimpangan dalam penerapan perda
No 8 tahun 2008, dan cenderung merugikan masyarakat dalam hal ini disebut
sebagai konsumen.
3)
Sumber Data hukum
Untuk menunjang penulisan skripsi ini, digunakan sumber-sumber bahan
hukum, yaitu:
a.
Sumber Data Hukum Primer
Sumber Data Hukum Primer
adalah Bahan yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui observasi
/pengamatan, interview /wawancara, quisetioner /angket.[12]
Dalam bahan ini, saya selaku penulis
skripsi melalukan wawancara langsung kepada Konsumen pengguna jasa Parkir
berlangganan, petugas parkir, pemerintah kabupaten Sidoarjo Dalam hal ini di
wakili oleh Dishub Sidoarjo
b.
Sumber Data Hukum Sekunder
Sumber Data Hukum Sekunder adalah data yang diperoleh melalui kepustakaan, dengan
menelaah buku-buku literatur, Browsing di internet, brosur / tulisan yang ada
kaitannya, sertaundang undang-undang yang terkait dengan masalah skripsi ini.
4)
Pengelolaan dan Analisa Bahan Hukum
Bahan yang telah diperoleh
untuk penyusunan skripsi ini dan yang telah dipisah-pisahkan, akan diolah dan
dianalisa menurut metode kualitatif dengan logika berfikir secara runtut untuk
memperoleh jawaban atas permasalahan yang dijadikan titik pangkal penelitian,
sehingga sapat diperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.
G.
Sistematika Penulisan
Penulisan skrispi ini disusun dalam suatu
sistematika yang terdiri dari empat bab yang merupakan suatu rangkaian yang
saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, yang
antara lain memuat hal-hal sebagai berikut:
Bab
I
merupakan bab yang berisikan Bab Pendahuluan, dimana dalam bab ini berisikan
tentang hal-hal yang mendasar dari penulisan skripsi ini, yakni Latar Belakang dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, yang memberikan kejelasan
tentang kerangka kopsepsional dan kerangka teoritis.Kemudian metodde penilitian
yang menjelaskan tentang cara penulis dalam menyusun penelitian ini berdasrkan
jenis penelitian, tipe penelitian, pendekatan masalah, sumber/data bahan hukum, pengolahan dan analisa bahan
hukum, serta sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang bagaimana
pelaksanaan perda No 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo
dikaitkan dengan hukum perlindungan konsumen, kinerja fungsional dalam
menjalankan suatu kebijakan.
Bab
III
berisi tentang upaya yang ditempuh oleh pihak
yang dirugikan dalam pelaksanaan pajak parkir di Sidoarjo ditinjau dari
Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Prinsip dalam
penyelesaian sengketa, Penyelesaian sengketa di luar persidangan dan di dalam
persidangan.
Bab IV merupakan
penutup, yang berisi tentang kesimpulan dari jawaban dua permasalahan yang
telah diuraikan atau dipaparkan dalam skripsi ini dan selanjutnya akan diberi
saran yang berhubungan dengan kesimpulan yang diambil dan sedikit saran yang
bertujuan untuk memajukan suatu daerah.
[1] Syamsuddin Haris, Desentralisasi & Otonomi Daerah:
Desentralisasi, Demokratisasi &
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Pres, 2005, hal 23
[2] Ibid, hal 268
[3] Lihat Undang-undang No 22 tahun
1999 tentang Otonomi Daerah, pasal 79.
[4] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal 189
[5] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal 189
[6] Lihat UU RI No 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, pasal 1 huruf h.
[7] Syamsuddin Haris , Op.Cit, hal 159.
[8] Ibid, hal 9
[9] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat,
2011, Hal 225
[10] Ibid, hal 229
[11] Rony Hanitijo
Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Ghalia Indonesia ,
Jakarta 1990, Hal .38.
[12]Ibid, , hal. 10.
BAB
II
PELAKSANAAN PERDA NO 2 TAHUN 2012
TENTANG PENYELENGGARAAN PARKIR DI SIDOARJO
A.
Pelaksanaan
Penyelenggaraan Parkir Berlangganan Di Sidoarjo
Dengan Otonomi Daerah, terjadi pergeseran peran
pelaku perekonomian nasional, meskipun pada intinya tetap bertumpu pada;
pemerintah, swasta, dan koperasi. Pemerintah Daerah menjadi pelaku utama dalam
perekonomian, karena dia dituntut mampu menggali dan mencari dana bagi
pembiayaan pembangunan sendiri.[13]
Pemerintah Daerah dituntut mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal dengan memanfaatkan peluang yang ada; baik itu dari sumber
sendiri (daerah), nasional, serta internasional. Sebaliknya setiap peristiwa
ataupun kejadian di dunia internasional dapat berdampak langsung kepada
penyelenggaraan di daerah, hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan.
Dalam kerangka pembanguna ekonomi seperti itulah peran ekonomi Pemerintah
Daerah diletakkan.[14]
Dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 6
menyebutkan bahwa PAD bersumber dari :
a. Pajak
Daerah
b. Retribusi
Daerah
c. Hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
d. Lain-lain
PAD yang sah.[15]
Sehubungan dengan peran pemerintah sebagai pelaku
ekonomi utama di daerah, maka pemkab Sidoarjo mencoba menerapkan pada
pelaksanaan parkir berlangganan yang berusaha meningkatkan PAD dengan
mewajibkan pemilik kendaraan yang berplat Sidoarjo membayar retribusi parkir.
Pada awalnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memangdang bahwa sektor parkir memiliki
potensi menjadi sumber dana yang bagus apabila dikelola sendiri oleh pemerintah
sehingga terdapat dua keuntungan yang dapat dirasakan sekaligus, yakni pendapatan
bagi Kabupaten Sidoarjo yang meningkat serta penataan parkir yang lebih rapi.
Pada awal tahun 2006 Pemkab Sidoarjo
mengundangkan Perda No 1 tahun 2006 tentang retribusi parkir dan mengalami
perubahan yaitu Perda No 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan parkir sebagai
landasan hukum untuk menetapkan besarnya retribusi dan pelaksanaannya
dilapangan. Perumusan
Perda Nomor 1 Tahun 2006 ini sempat ditentang oleh juru parkir yang bertugas di
wilayah Sidoarjo karena akan mematikan pekerjaan mereka, paling tidak
penghasilan mereka akan berkurang daripada saat pelaksanaan parkir non-berlangganan.
Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten
Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama
masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara
stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan. Kebijakan publik
dapat dipahami sebagai sarana untuk perebutan sumber-sumber kekuasaan (politik,
ekonomi serta berbagai sumber lainnya yang bisa diperebutkan dalam perumusan
kebijakan). Kebijakan pembayaran retribusi parkir secara berlangganan oleh Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo merupakan sarana perebutan sumber-sumber kekuasaan tersebut
antar masing-masing stakeholder. Stakeholder yang terkait dalam parkir
berlangganan antara lain adalah:
a)
Pemkab
Sidoarjo
Pemkab Sidoarjo sebagai Lembaga pembuat
kebijakan dalam hal perkir berlangganan dan mengesahkan Perda tentang Parkir,
yang bertujuan untuk mendapatkan PAD.
b)
DPRD
Kabupaten Sidoarjo
DPRD Sidoarjo sebagai lembaga pembuat
Peraturan Daerah untuk dijadikan landasan hukum / payung hukum untuk
menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pemkab.
c)
Dinas
Perhubungan
Lembaga ini bertugas sebagai pelaksana
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Parkir berlangganan serta melakukan
pengawasan terhadap jukir yang nakal atau curang, serta berwenang untuk
menindak setiap pelanggaran yang ada, dan dishub membuat karcis parkir untuk
digunakan kepentingan parkir .
d)
Masyarakat
Sidoarjo
Masyarakat Sebagai
penguna jasa atau yang menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Pemkab, serta
memenuhi kewajiban yang timbul akibat kebijakan tersebut, sebagai contoh
membayar retribusi parkir setiap tahun bagi pemilik kendaraan ber nopol
Sidoarjo.
e) Juru parkir kawasan parkir berlangganan.
Petugas
yang ditugaskan oleh perda melalui dishub yang bertugas untuk menjaga dan
mengatur parkir yang ada di Sidoarjo.
f)
Samsat
Sidoarjo
Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh
undang-undang sebagai tempat pembayaran retribusi parkir berlangganan bersamaan
dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor.
g)
Polres
Sidoarjo
Lembaga yang bertugas menindak,
menyelidiki, menyidik apabila terjadi pelangaran terhadap perda parkir
berlangganan.
h)
Dispenda
Instanti yang ditunjuk oleh
undang-undang sebagai pengelola hasil dari penarikan retribusi parkir
berlangganan. Serta melaporkan kepada Pemkab Sidoarjo hasil dari retribusi yang
dipungut dari masyarakat.
Perumusan kebijakan publik merupakan proses politik
dimana dalam proses tersebut terdapat kepentingan masing-masing stakeholder
yang harus diamankan sehingga terdapat interaksi kepentingan antar stakeholder
yang terlibat sehingga pada hasil perumusan nanti akan ada pihak/stakeholder
yang dikompromi kepentingannya sehingga akhirnya tidak puas dalam arti lain
ialah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Dari
pengamatan yang telah dilakukan selama penelitian ini berlangsung, implementasi
kebijakan retribusi berlangganan di Kabupaten Sidoarjo dirasa belum mencapai
hasil yang maksimal. Ditandai dengan pemasukan kas daerah (parkir berlangganan)
yang belum memenuhi target, Sangat ironis, Jumlah kendaraan di Sidoarjo terus
bertambah dari tahun ke tahun. Namun Dishub malah menurunkan target
pendapatannya tahun depan. Salah satu alasannya, target tahun ini tidak
tercapai. Berdasar data yang dihimpun Jawa
pos, tahun 2013 dishub menargetkan pendapatan retribusi dari parkir
berlangganan sebesar Rp.22.267.596.300. padahal target tahun 2012 sebesar
22.964.220.000.
Kendaraan
yang berlangganan di Sidoarjo tahun 2012 berjumlah 826.220 unit, terdiri atas
kendaraan roda dua, roda empat,san roda enam atau lebih. Jumlah tersebut
mencerminkan seluruh kendaraan bermotor yang beroperasi di Sidoarjo. Sebab, seluruh kendaraan
tersebut memang diwajibkan mengikuti progam parkir berlangganan. Pembayarannya
dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor.[16]
Kadishub
Sidoarjo berdalih, penurunan target itu beralasan. Perhitungan target retribusi
selama ini tidak memprediksi tidak memprediksi jumlah kendaraan yang dibayar
pajaknya, akibatnya tahun 2012 dishub hanya mampu memenuhi target retribusi
sebesar 90 persen.[17]
Berikut Statistik
parkir berlanggan:
JENIS KENDARAAN
|
JUMLAH
|
TARIF PERTAHUN
|
Roda Dua
|
716.345
|
Rp. 25 ribu
|
Roda Empat
|
85.212
|
Rp. 50 ribu
|
Roda Enam
|
24.663
|
Rp. 60 ribu
|
Target retribusi 2012 : Rp. 22.964.220.000
|
||
Realisasi : Rp. 20.754.231.000
|
||
Tak tercapai : Rp. 2.209.989.000
|
||
Target tahun 2013 : Rp. 22.267.596.300
|
Sumber data: koran Jawapos melalui dishub
Sidoarjo
Pada tahun 2013 Dishub memprediksi ada 12-14
persen kendaraan di Sidoarjo yang tidak membayar pajak. Jika tidak membayar
pajak, otomatis parkir kendaaraan tersebut tidak dibayarkan. Potensi pendapatan
dari parkir berlangganan tersebut menyumbang 26 persen dari total pendapatan
retribusi yang menjadi bagian dari pendapatan asli daerah (PAD) Sidoarjo.
Adapun hasil dari retribusi tersebut dibagi lagi kepada beberapa stakeholder,
antara lain:
a.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mendapatkan 82%
dari Retribusi parkir .
b.
Polres Sidoarjo mendapatkan 5% dari Retribusi parkir.
c.
Propinsi Jawa Timur Mendapatkan 13% dari
Retribusi parkir.
Meski demikian dishub bakal tetap
mempertahankan sistem parkir berlangganan. Fakta banyaknya jukir yang masih
meminta uang tidak ditampik. M. Husni Thamrin selaku Kadishub hanya berjanji untuk berupaya lebih tegas
dalam pengawasan para jukir tersebut. Senada dengan Husni, wakil UPT Parkir
Dishub Sidoarjo M. Jaelani mengakui bahwa masih ada jukir yang nakal, “ kami
masih berbenah dan berupaya semaksimal mungkin untuk membina para jukir”, ujarnya.[18]
Presentasi
jukir nakal memang cukup besar. Dishub memperkirakan, perbandingan antara jukir
baik dengan jukir nakal adalah 70:30. Artinya diantara 530 jukir, 159 orang
suka meminta uang parkir. Jumlah itu tergolong besar karena lokasi parkir
berlangganan di Sidoarjo berjumlah 279 titik. Abu Dardak menerangkan bakal
menerapkan sanksi tegas bagi jukir nakal.”Jika menemui jukir nakal, kami akan
langsung memanggil dan memberi peringatan. Jika mereka mengulangi lagi, tentu
kami putus hubungan kerjanya”, tegasnya.[19]
Selain
problem PAD, sosialisasi yang tidak merata sehingga pada pelaksanaannya di
lapangan masih ditemui banyak sekali kecurangan. Selain itu, Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2012 sendiri belum banyak mengatur tentang hak-hak maupun
kewajiban yang seharusnya dijalankan para aktor pembuat kebijakan dan
pelaksana. Terhenti dengan kewajiban bagaimana seharusnya masyarakat
menggunakan fasilitas parkir berlangganan serta jukir yang tetap harus
menjalankan tugasnya tanpa ada pungutan liar. Inilah yang membuat kebijakan ini
seolah-olah pincang karena hukum-hukum perlindungan bagi kedua belah pihak pun
belum jelas. Ada beberapa aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan
retribusi parkir berlangganan. Akan tetapi, aktor yang paling utama dalam
pelaksanaan kebijakan retribusi parkir berlangganan yaitu Bupati Sidoarjo.
Kemudian adanya dukungan dari beberapa aktor lainnya dalam pembuatan kebijakan
ini, yaitu Dispenda tingkat I Jawa timur, Gubernur, serta persetujuan dari pihak
kepolisian Jawa Timur dan Kabupaten. Pada kenyataannya pelaksanaan kebijakan
retribusi parkir berlangganan selama di lapangan tidak berjalan secara efektif
dan optimal.
B.
Faktor-faktor
penghambat pelaksanaan parkir berlangganan
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan yang dibuat pemerintah
kabupaten Sidoarjo pasti tidak lepas dari permasalahan. Dari permasalahan
tersebut terjadi karean adanya beberapa faktor. Adapun faktor penghambat pelaksanaan
parkir berlangganan diantaranya:
a) Kenakalan
para jukir yang memberi pungutan liar kepada pengguna retribusi parkir
berlangganan,
b) Lemahnya
pengawasan terhadap jukir, karena petugas pengawas terbatas
c) Adanya
ancaman dari jukir yang mau ditindak tegas oleh petugas Dishub.
d) Gaji
pengawas yang kecil, yaitu sebesar
Rp.1.000.000.-/Bulan.
e) Kurangnya
pro aktif dan antusias dari masyarakat pengguna parkir berlangganan untuk lebih
taat kepada peraturan yang sudah tertulis tentang pelaksanaan retribusi parkir
berlangganan di Kabupaten Sidoarjo,
f) Sedikitnya
lahan parkir yang disediakan oleh Pemkab Sidoarjo, yang tidak menjangkau pada
daerah plosok atau perbatasan.
g) Tidak
disebutkannya perlindungan hukum dan hak yang tertulis di dalam Peraturan
Daerah nomor 2 tahun 2012 untuk masyarakat.
Sehingga
kenyataannya, peraturan Daerah nomor 2 tahun 2012 yang mengatur tentang
Penyelenggaran parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo belum berjalan secara
efektif dan optimal selama pelaksanaannya di lapangan. Diharapkan kedepannya,
masing-masing pihak dapat saling memahami peranan dan tugasnya masing.
Bagaimana aktor-aktor pembuat kebijakan bisa membenahi kebijakan-kebijakan yang
telah ada, dan sebagai pelaksana di lapangan jukir dan masyarakat dapat
mendukung kebijakan tersebut dengan mentaati peraturan yang telah ditetapkan.
Selain
Faktor Penghambat pelaksanaan parkir berlangganan, adapula permasalahan berhubungan
dengan keluhan dari Stakeholder yang
terlibat dalam pelaksanaan parkir berlangganan, antara lain :
a.
Masyarakat
pengguna jasa parkir
Kebanyakan
masyarakat Sidoarjo tidak setuju dengan adanya parkir berlangganan ini, karena
masyarakat sering dirugikan. Mulai banyaknya pungutan liar yag dilakukan oleh
jukir resmi, keamanan kendaraan tidak terjamin, kurangnya titik parkir.[20]
b.
Jukir
Sering
adanya laporan tentang pungutan liar yang dilakukan oleh jukir tidak terlepas
dari keluhan para jukir. Antara lain Seringnya gaji yang telat, Gaji jukir yang
minim yaitu sebesar Rp. 700.000,-/bulan, hal ini jauh dari KHL yang ditetapkan
oleh Gubernur Jatim, serta mahalnya karcis yang harus dibeli oleh jukir di
Dishub, yaitu Rp. 100,000,- /bendel untuk Motor dan Rp. 150,000,-/bendel untuk
Mobil, sehingga jukir tidak punya untung dalam penjualan karcis..Selain itu
para jukir harus setor kepada pemilik lahan. Ucap jukir Depan CB Phone Sidoarjo [21]
c.
Pengawas
Dishub
Tidak hanya masyarakat
dan jukir yang mempunyai keluhan, begitupun juga petugas pengawas parkir
berlangggananpun juga mempunyai kendala, yakni minimnya gaji petugas pengawas, kurangnya
fasilitas tempat yang digunakan untuk melakukan pengawasan, mulai dari tidak
adanya toilet, tendanya kurang layak, karena kalau hujan pasti petugas terkena
percikan air hujan, selain itu juga sering bingung dengan jukir resmi, karena
jukir resmi seringkali menyerahkan rompinya ke jukir tidak resmi.[22]
C.
Kinerja
Fungsional Dalam menjalankan kebijakan
Suatu kebijakan terdapat penilaian
kinerja fungsional yang bertujuan untuk mendapatkan suatu kerjasama antara
stakeholder yang terkait dalam sutau kebijakan. Adapun kinerja fungsional
terdiri dari:
a)
Fungsi
Representasi
Kinerja
representasi merujuk pada hakikat keberadaan DPRD sebagai wakil rakyat dalam
kehidupan suprastruktur politik sosial ekonomi budaya. Untuk menjalankan fungsi
representasi, setidaknya terdapat tiga mekanisme yang dijalankan DPRD
Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Pertama, representasi aktif. Mekanisme yang
ditempuh untuk menjalankan fungsi ini, yaitu melalui kunjungan lapangan. Atas
inisiatif sendiri, DPRD terjun ke masyarakat untuk mengetahui persoalan dan
kondisi masyarakat. DPRD bisa berdialog langsung dengan masyarakat, atau
terlibat dalam diskusi dengan komponen-komponen masyarakat. Mekanisme ini
sering pula dikaburkan dengan fungsi sosialisasi yang seharusnya dijalankan
pemda, tidak jarang DPRD terjun ke masyarakat dalam kerangka soskalisasi program
pembangunan. Kedua, representasi pasif. Kebalikan dari mekanisme pertama, DPRD
bersifat pasif menunggu laporan atau pengaduan dari masyarakat mengenai suatu
maslalah atau aspirasi tertentu. Pengaduan yang diterima DPRD selama ini, lebih
banyak yang berasal dari kelompok masyarakat atau datang secara berkelompok.
DPRD kemudian menindaklanjutinya dengan mengkoordinasikan masalah bersama
instansi terkait di Pemda, atau melakukan fasilitas tersendiri. Ketiga
representasi reaktif. DPRD akan terjun ke masyarakat bila muncul maslah,
terutama karena pembirtaan media massa. Selain itu juga dengan memanggil
eksekutif untuk melakukan hearing mengenai persoalan yang muncul di masyarakat.
Atau DPRD bersedia diundang masyarakat untuk membahas suatu masalah.[23]
b)
Fungsi
Legislasi
Dalam teori klasik tentang pemisahan
kekuasaan, Legislasi adalah fungsi utama lembaga legislatif yang membedakannya
dengan lembaga eksekutif. Legislasi dipahami sebagai fungsi lembaga yang
memproduk aturan. Sementara lembaga eksekutif berfungsi menjalankan atau
mengeksekusi aturan. Teori yang membuat garis tegas antara fungsi lembaga
eksekutif dan legislatif, dalam praktiknya tidak berjalan. Karena di banyak
negara yang terjadi justru eksekutif lebih dominan dalam memproduk aturan.
Sementara lembaga legislative cenderung pasif, membahas dan menyetujui aturan
yang diajukan eksekutif atas nama rakyat. Kalau memang ada inisiatif, jumlahnya
sangat kecil bila dibandingkan inisiatif yang berasal dari eksekutif. Begitupun
dalam praktiknya di Indonesia, Pemerintah lebih dominan berinisiatif untuk
mengajukan undang-undang dibanding DPR. Di daerah pun ternyata tidak jauh
berbeda, pemerintah daerah lebih dominan dibanding DPRD.[24]
c)
Fungsi
Kontrol
Kinerja
kontrol berkaitan dengan fungsi pengawasan DPRD terhadap jalannya pemerintahan
beserta program-programnya yang diemban eksekutif. Baik dalam prosedur maupun
hasil capaian yang telah dikerjakan. Sebagai pemegang mandat dari rakyat, maka
DPRD adalah wakil rakyat dalam mengawasi kinerja eksekutif. Sehingga wajar kiranya
bila pengawasan itu dilakukan atas nama rakyat. Pentingnya pengawasan dilakukan
DPRD, terutama ditujukan pada upaya agar kinerja eksekutif berdampak pada
kemajuan daerah, kemajuan masyarakat. Pengawasan bukan saja dilakukan dengan
tujuan untuk mengungkap distorsi kinerja eksekutif, melainkan untuk “mengawal”
agar program dan rencana yang sudah dicanangkan dengan mengatasnamakan publik,
bisa diwujudkan dengan baik. Untuk itu dibutuhkan inisiatif-inisiatif agar DPRD
bisa menjalankan fungsi ini. Pengawasan efektif, tidak sekedar merupakan
manifestasi “kecerdasan” DPRD untuk menyiasati mekanisme pengawasan hingga
menjadi proporsional, dan mampu mengawal mandat yang diberikan rakyat.[25]
Kinerja
Pengawasan menjadi begitu penting dan berarti, bila sijalnkan dengan cara-cara
yang proporsional dan tidak menimbulkan berbagai spekulasi tentang hubungan
antara DPRD dengan Eksekutif. Kinerja pengawasaan bukan ditujukan untuk
menunjuk kekuasaan DPRD atas eksekutif, tetapi untuk kemitraaan yang tetap
menjujung tinggi nilai-nilai keadilan, profesional, obyektif, dan kejujuran.
D.
Mekanisme
Pemungutan Retribusi Parkir.
Retribusi ditetapkan dengan peraturan daerah, dan
Peraturan Daerah tentang retribusi tersebut tidak berlaku surut. Peraturan
Daerah tentang retribusi sekurang-kurangnya mengatur tentang ketentuan
mengenai:
a) Nama,obyek,
dan Subyek retribusi;
b) Golongan
retribusi;
c) Cara
mengukur tingkat pengguna jasa yang bersangkutan;
d) Prinsip
yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi;
e) Struktur
dan besarnya tarif rettribusi;
f) Wilayah pemungutan;
g) Tata
cara pemungutan;
h) Sanksi
administrrasi;
i)
Tatacara penagihan;
j)
Tanggal mulai berlakunya.[26]
Pemungutan retribusi parkir di Sidoarjo
menurut Peraturan Bupati No. 35 tahun 2012 tentang Pelayanan Parkir Oleh
Pemerintah kabupaten Sidoarjo pasal 6 menjelaskan bahwa, Pemungutan retribusi
pelayanan parkir dilakukan :
a. Secara
langsung, dan
b. Secara
berlangganan
Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara
langsung sebagaimana dimaksud pasal 6 (1) huruf a dipungut oleh Dinas
Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, pemungutan retribusi baik parkir tepi jalan
umum, parkir ditempat khusus, maupun parkir insidentil dilaksanakan oleh
petugas parkir dengan menggunakan bukti pembayaran berupa media pungut. Media
Pungut hanya berlaku satu kali parkir dan sesudahnya tidakdapat dipakai lagi.
Sedangkan Pemungutan retribusi pelayanan
parkir secara berlanggganan sebagaimana dimaksud pasal 6 (1) huruf b dilakukan
dengan cara kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah
Provinsi Jawa Timur dan Kepolisian Resort Sidoarjo, adapun pemungutan retribusi
dilakukan terhadap kendaraan bermotor yang terdaftar pada Kantor Bersama SAMSAT
Sidoarjo pada saat perpanjangan STNK/BBNKB. Setiap pemilik kendaraan bermotor
yang telah membayar retribusi parkir berlangganan diberi tanda bukti pelunasan
yang telah diporporasi dan bernomor seri serta stiker. Retribusi parkir berlangganan berlaku untuk pelayanan parkir
tepi jalan umum dan parkir di tepat khusus parkir milik Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo.
BAB
III
UPAYA
HUKUM KONSUMEN TERHADAP KERUGIAN JASA PARKIR BERLANGGANAN DI SIDOARJO
A.
Upaya
Hukum Bagi Konsumen/Masyarakat Pengguna Jasa Parkir di Sidoarjo yang Dirugikan.
Undang-undang No 8 tahun 1999 memiliki ketentuan
yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan
perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah
diatur khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah
dipelajari juga peraturan perundangan-undangan tentang konsumen dan/atau
perlindungan konsumenini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan
umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau
masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.[27]
Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen sering
terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa
dirugikan oleh suatu produk atau jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada
tiga masalah yang sering menjadi bahan diskusi, yakni:
a) Masalah
prinsip ganti rugi yang didalamnya mencakup sistem pembuktian;
b) Masalah
lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya peranan
lembaga-lembaga diluar pengadilan; dan
c) Yang
akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak
(gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action).[28]
Konsumen dalam hal ini pengguna jasa parkir
seringkali mengalami kerugian dalam segi pelayanan, adanya unsur paksa dalam
menarik uang parkir meskipun konsumen tiap tahun sudah bayar biaya retribusi
parkir berlangganan. Setiap konsumen mempunyai hak menuntut ganti rugi, bagi
konsumen yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya hukum sebagai berikut :
a.
Mengajukan
gugatan secara kelompok (class action)
Gugatan kelompok atau lebih lazim
disebut class action atau class representative adalah pranata
hukum yang berasal dari sistem common law.
Walaupun demikian, banyak negara penganut civil law, prinsip tersebut diadopsi,
termasuk dalam UUPK Indonesia.
Gugatan
perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka
sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dengan anggota
kelompok yang dimaksud.[29]
UUPK
mengakomodasikan gugatan kelompok (class
action) ini dalam pasal 46 ayat (1) huruf (b). Ketentuan ini menyatakan
gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen
yang mempunyai kepentingan yang sama. Penjelasan dari rumusan itu menyatakan,
gugatan kelompok tersebut harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar
dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adanya
bukti transaksi.
Prinsip class
action berbeda dengan legal standing.
Umumnya class action wajib memenuhi
empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam pasal 23 US Federal of Civil Procedure meliputi[30] :
1) Numerosity (jumlah
orang yang mengajukan harus sedemikian banyaknya).Persyaratan ini mengharuskan kelas
diwakili(class members) sedemikian
besar jumlanya karena apabila gugatan satu demi satu(individual) sangat tidak
praktis dan tidak efisian.
2) Commonality
(kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of law antara pihak
yang mewakili dan pihak yang diwakili.
3) Typicality ,
artinya tuntutan (bagi penggugat) maupun
pembelaan (bagi tergugat) pada class
action haruslah sejenis
4) Adequacy of representation
(kelayakan perwakilan), artinya mewajibkan perwakilan kelas (class representatives) untuk menjamin
secara jujur dan adil serta melindungi kepentingan pihak yang mewakili.
Dengan memperhatikan ketidaklengkapan
ketentuan Undang-undang No. 8 tahun 1999 yang mengatur persoalan class action
maka perlu di ikuti dengan peraturan pelaksanaannya lebih lanjut. Pengaturan
tentang persyaratan agar dapat melakukan gugatan dengan class action perlu diperjelas, karena tidak semu sengketan konsumen
dapat diajukan dengan class action,
demikian juga ketentuan mengenai proses
pemeriksaan permulaan untuk menentukan apakah dapat diperiksa dengan class
action atau tidak. Akan tetapi, tekanan yang penting disini adalah penerapan
asas bahwa peradilan dilakukan secara murah, cepat, sederhana, dan dengan biaya
ringan dapat dilakukan dalam pemeriksaan sengketa konsumen, karena pada umumnya
konsumen berada dalam posisi serba terbatas, baik dilihat dari segi
pengetahuan, keuangan, dan waktu. Oleh karena itu, prosedur class action
diharapkan dapat membantu terwujudnya asas tersebut.[31]
b.
Mengajukan
gugatan secara Legal Standing
Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima
kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang dimiliki
lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM (NGO’s Standing). Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam
pasal 46 ayat(1) huruf c: Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memnuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya oraganisasi tersebut
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya.
Dalam definisi yang diberikan oleh pasal 1 angka 9
UUPK, jelas ada keinginan agar setiap lembaga perlindungan konsumen swadday
masyarakat (LPKSM) itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa
pendaftaran dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak
dalam proses beracara di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM.
Secara administratif ada konsekuensi logis karena
pendaftaran dan pengakuan itu dengan sendirinya dicabut oleh piak yang
memberikan, dalam hal pemerintah, misalnya dengan alasan LPKSM menyimpang dari
fungsi dan tugas semula. Kewenangan demikian di satu sisi berguna untuk
mencegah munculnya LPKSM “gadungan” yang berpotensi merugikan konsumen, tetapi
disisi lain juga membuka kesempatan munculnya perlakuan diskriminatif
Pemerintah terhadap LPKSM tertentu yang kritis.
Untuk memiliki Legal standing tersebut LPKSM yang
menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkaa yang
diajukan. Inilah perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dan
NGO’s legal standing.[32]
c.
Small Claim Court
Konsep Small Claim Court merupakan
suatu usaha untuk membantu konsumen dalam mendapatkan perlindunga hukum dengan
menrapkan asas hukum berperkara murah, cepat, sederhana, dan biaya ringan. Hal
ini disebabkan oleh small claim court
adalah semacam peradilan kilat, dengan hakim tunggal, tanpa ada keharusan
menggunakan pengacara, berbiaya ringan, dan tidak ada upaya banding. Sengketa
pada umumnya mempunyai nilai nominal kecil, sehingga tidak praktis apabila
gugatan untuk memita ganti rugi dilakukan melalui peradilan umum. Peradilan
umum selain mahal juga membutuhkan waktu yang relatif lam dan prosedurnya cukup
rumit. Adanya smart claim court
diharapakan mampu memberikan akses kepada konsumen untuk menuntut ganti rugi
kepada pelaku usaha, meskipun nominal yang disengketakan sangat kecil.
Probematika
yang muncul adalah apakah UU No. 8 tahun 1999 mengatur mekanisme penyelesaian
sengketa konsumen melalui pemeriksaan semacam small claim court, UU ini memberikan jalan penyelesaian sengketa konsumen
melalui dua cara berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa, yaitu (1)
melalui peradilan umum, dan (2) penyelesaian dilura pengadilan.Apabila memilih
upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dan ternyata tidak
berhasil, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.[33]
B.
Prinsip
Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Pelayanan Jasa Parkir Berlangganan Di
Sidoarjo.
1
Prinsip-Prinsip
Tanggung jawab
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal
sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran
hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada
pihak-pihak terkait.[34]
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam
hukum dibedakan sebagai berikut:
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab
yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen/penyedia
jasa. Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap
hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori
tersebut, kelalaian produsen/penyedia jasa yang berakibat pada munculnya
kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan
tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian
produsen/penyedia jasa, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen/penyedia
jasa diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
a)
Pihak tergugat
merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan
tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
b)
Produsen tidak
melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar
yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
c)
Konsumen
penderita kerugian.
Kelalaian
produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen
(hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen). Dalam prinsip
tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat
responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
1) Tanggung
Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur
kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena
gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur
kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.
Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan
yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan
dalam mengajukan gugatan kepada
produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara
konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi
produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak
diketahui.
2) Kelalaian
Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan
kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan
hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan
hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti
kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan
konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas
pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum
dengan produsen.
3) Kelalaian
Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan
beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam
perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya
adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan
kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
4) Prinsip
Praduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbalik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung
jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya
keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan
kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan.
Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab
mutlak.
b) Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan
terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk
mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal
dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk
rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau
perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini
adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang
tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi
janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi
konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab
untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk
perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
a.
Pembatasan
waktu gugatan.
b.
Persyaratan
pemberitahuan.
c.
Kemungkinan
adanya bantahan.
d.
Persyaratan
hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
c) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung
jawab ini dikenal dengan nama product
liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran.
Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti
kerugian, ketentuan ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat
(konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan
produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab
ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat
atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau
tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan
mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
a.
Diantara
korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian
seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
b.
Dengan menempatkan
/ mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa
barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak
demikian dia harus bertanggung jawab.
2
Product
Liability
Secara
Historis, Product liability lahir
karena tidak ada keseimbangan tanggung jawab
antara Produsen/penyedia jasa dan konsumen. Dengan Lembaga ini
produsen/penyedia jasa yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran
produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen/penyedia jasa harus berhati-hati dengan
produknya, karena tanggung jawab dalam product
liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).[35]
C.
Penyelesaian
Sengketa Konsumen Terhadap Pelayanan Parkir Berlangganan Di Sidoarjo.
a.
penyelesaian sengketa di peradilan
umum (Litigasi)
Sengketa
konsumen di sini dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya suatu
sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim,
melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat
baik itu produsen ataupun konsumen. Pengadilan yang memberikan pemecahan atas
hukum perdata yang tidak dapat bekerja di antara para pihak secara sukarela. Dalam
hubungan ini Satjipto Rahardjo mengatakan:
“Pembicaraan
mengenai bekerjanya hukum dalam
hubungan dengan proses peradilan secara konversional melibatkan pembicaraan
tentang kekuasaan kehakiman, prosedur beperkara dan sebagainya”.[36]
Istilah “prosedur beperkara” didahului dengan
pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri.
Sebelumnya, itu berarti surat gugatan harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu
secara teliti dan cermat. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan :
(1) Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.[37]
Pada klasifikasi
yang pertama, yaitu seorang konsumen (atau ahli warisnya) tentu saja tidak ada
yang istimewa dilihat dari ketentuan
beracara. Hal yang menarik adalah pada klasifikasi kedua dan seterusnya.[38]
Pada klasifikasi
kedua, gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan yang sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengna gugatan dengan
mewakilkan kepada orang lain seperti diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR.
Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action. Kemudian klasifikasi
ketiga adalah lembaga swadaya masyarakat. Di sini dipakai istilah “lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat”. Klasifikasi ketiga ini
berkaitan dengan legal standing. LSM yang bergerak di lapangan
perlindungan konsumen ini boleh jadi terus bertambah banyak. Menjadi pertanyaan
apakah semua dari mereka berhak menklaim sebagai wakil konsumen? Persyaratan
yang diajukan oleh Pasal 46 ayat (1) huruf (c) masih terlalu umum. Untuk itu,
pertimbangan agar dilakukan semacam “akreditasi” tampaknya perlu dijajaki.
Syaratnya tentu saja badan yang mengakreditasi itu harus independen. Sayangnya,
Pasal 1 angka (9) dan Pasal 44 ayat (1) UUPK menutup kemungkinan itu dengan
menyatakan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat terdaftar dan
diakui oleh pemerintah. BPKN yang sebenarnya dapat mengambil alih tugas
demikian, juga tidak dimungkinkan menurut rincian tugas Pasal 34 UUPK.
Klasifikasi penggugat dalam sengketa konsumen yang keempat atau terakhir adalah
Pemerintah dan atau instansi terkait. Mereka baru akan menggugat pelaku usaha
jika ada kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Namun,
tidak disebutkan apakah gugatan demikian masih diperlukan jika ada gugatan dari
para konsumen, atau dapat dilakukan bersamaan waktunya dengan gugatan dari
pihak konsumen yang termasuk klasifikasi-klasifikasi satu sampai tiga.
Tampaknya, hal-hal itu tetap dibiarkan tanpa penjelasan karena menurut
ketentuan Pasal 46 ayat (3), masalah itu masih diperlukan pengaturan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebelum menyusun gugatan, kuasa hukum
terlebih dahulu menerima pemberian kuasa dari konsumen untuk memberikan bantuan
hukum mewakili kepentingan konsumen di pengadilan. Wujudnya dalam bentuk surat
kuasa yang secara jelas dan terperinci menyebutkan untuk apa kuasa itu
diberikan (surat kuasa khusus). Adanya kekeliruan atau cacat dalam pemberian
kuasa dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Kedua,
mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk di sini surat-surat
dan saksi-saksi. Hasil penelitian/pengujian laboratorium untuk komoditas
tertentu, seperti makanan/minuman, otomotif/kendaraan, air minum (PAM), dan listrik (PLN), sebenarnya dapat
membantu mengungkap/ membuktikan
dalil-dalil gugatan konsumen. Ketiga, kuasa hukum konsumen hendaknya menggali
sejauh mungkin hal-hal apa saja yang sudah dilakukakn konsumen, misalnya
menyurati produsen, wawancara dengan media massa/elektronik atau menulis surat
pembaca di media massa. Ini penting guna memperhitungkan kemungkinan adanya
gugatan balik berupa pencemaran nama baik dari produsen. Keempat, menyangkut
kompetensi/kewenangan mengadili secara absolute (atribusi kekuasaan kehakiman
di antara peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, atau peradilan
tata usah Negara) maupun kewenangan
mengadili secara relatif (di antara peradilan sejenis, mana yang berwenang
mengadili). Kompetensi relatif ini menyangkut mengenai kewenangan pengadilan
sejenis untuk mengadili tergugat sesuai ketentuan Pasal 118 HIR. Prinsip yang
berlaku, yaitu gugatan diajukan pada pengadilan negeri di daerah hukum tergugat
berdiam (berdomisili atau jika domisilinya tidak diketahui, diajukan di tempat
tinggal tergugat sebetulnya (actor sequitur forum rei). Tempat tinggal
seseorang dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduknya (KTP)-nya.
b.
Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan (non litigasi)
Asas
hukum yang berbunyi point d’interet,
point d action (tiada kepentingan, maka tidak ada aksi) menggambarkan bahwa
gugatan diajukan untuk mempertahankan hak (kepentingan) orang atau badan hukum
yang dilanggar. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan,
maka ia tidak dapat mengajukan gugatan. Pada umumnya, suatu gugatan diajukan
oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk kepentingan mereka, atau juga
oleh satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan badan hukum itu sendiri,
yang dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang kuasa. Kompetensi
ini didasarkan pada kualitas mereka sebagai persona standi in judicio, yang memberikan kewenangan dalam hukum untuk
bertindak sebagai pihak dalam suatu proses perkara perdata, baik sebagai pihak
yang menggugat maupun sebagai pihak yang digugat.
Dengan maraknya
kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/diferrence) antara para pihak
yang terlibat, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan
(litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang sering
mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif, yaitu karena ingin memangkasa
birokrasi perkara, biaya, dan waktu, sehingga relatif lebih singkat dengan
biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmoni sosial (social harmony) dengan mengembangkan
budaya musyawarah dan budaya nonkonfrontatif. Melalui jalan tersebut
diharapakan tidak terjadi prinsip lose
win akan tetapi win-win, para
pihak merasa menang sehingga menghindarkan terjadinya hard feeling dan lose face.
Di indonesia, ADR mempunyai daya
tarik khusus karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional
berdasarkan musyawarah mufakat. Beberapa hal dibawah merupakan keuntungan yang
sering muncul dalam ADR, yaitu :
a) Sifat
kesukarelaan dalam proses
b) Prosedur
yang cepat;
-
Keputusan yang non yudisial
-
Kontrol tentang kebutuhan organisasi
-
Prosedur rahasia
-
Fleksibilitas dalam merancang
syarat-syarat penyelesaian masalah
-
Hemat waktu
-
Pemeliharaan hubungan
-
Tingginya kemungkinan untuk melaksanakan
kesepakatan
-
Kontrol dan lebih mudah memperlihatkan
hasil
-
Keputusan bertahan sepanjang waktu.
Selanjutnya
mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-undang
No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.
Kemudian berdasarkan isi pasal 1 ayat 10 Undang-undang No 30 tahun 1999, maka
alternatif penyelesaian sengketa dapat dialkukan dengan cara sebagai berikut:
1)
Konsultasi
Pada prinsipnya
konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” anatra suatu pihak
tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak yang merupakan “konsultan”
yang memberikan pendapat kepada klien tersebut untuk memnuhi keperluan dan
kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk
menerima pendapatnya atau tidak.
2)
Negoisasi
Negoisasi adalah proses
konsensus yang digunakan para pihak untuk meemperoleh kesepakatan diantra
mereka. Negoisasi menurut Roger Fisher dan William Ury adalah komunikasi dua
arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negoisasi digunakan apabila
komunikasi antarpihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada
rasa saling percaya dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan
menruskan hubungan baik.
3)
Mediasi
Dalam pasal 6 ayat (3)
UU No.30 tahun 1999 dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasiha ahli maupun mediator. Mediasi merupakan negoisasi pemecahan masalah
dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial)
bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kespakatan
perjanjian dengan memuaskan. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk
memutuskan sengketa.
4)
Konsiliasi
Konsiliasi tidak jauh
berbeda dengan pedamaian, sebagaimana diatur dalam pasal 1851 KUHPerdata.
Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan
adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian diluar pengadilan.
Untuk mencegah dilaksanakannya proses peradilan (litigasi), melainkan juga
dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik didalam maupun
diluar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga mengupayakan pertemuan
diantara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga
selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para
pihak yang sedang bersengketa. Ketentuan Konsiliasi dapat dilihat dalam
ketentuan UU No.30 tahun 1999 pasal 1 ayat (10) dan alinea 9 dalam penjelasan
umum. Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara
bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri.
Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para
pihak.
5)
Penilaian
Ahli.
Yang dimaksud dengan penilaian ahli
adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam suatu bentuk kelembagaan,
arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan
pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu
perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini
atau pendapat hukum atas permintaan dari setia pihak yang melakukannya.
BAB
IV
PENUTUP
Sebagai
bahan akhir dari penilitian skripsi ini, maka sampailah pada penulisan untuk
menyampaikan beberapa pokok kesimpulan dan saran sebagaimana terurai dibawah
ini.
A.
KESIMPULAN
1
Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten
Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama
masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara
stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan. Dalam
pelaksanaan Perda No 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo
mengalami banyak kendala dan beberapa keluhan dari para pihak yang turut serta
dalam perda tersebut. Dan yang paling utama merasakan dampak negatif dari perda
tersebut adalah konsumen pengguna jasa atau disebut masyarakat yang ada di
Sidoarjo khususnya yang mempunyai kendaraan bermotor. Konsumen diwajibkan
membayar retribusi akan tetapi dalam pelayanan parkir seringkali konsumen
dirugikan.
2
Dalam hubungan dengan perlindungan
konsumen sering terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen
karena merasa dirugikan oleh suatu produk atau jasa. Dalam kaitan ini,
setidak-tidaknya ada tiga masalah yang sering menjadi bahan diskusi, yakni:
1) Masalah
prinsip ganti rugi yang didalamnya mencakup sistem pembuktian;
2) Masalah
lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya peranan
lembaga-lembaga diluar pengadilan; dan
3) Yang
akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak
(gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action)
B.
SARAN
1
Pemerintah kabupaten Sidoarjo selaku
pembuat kebijakan parkir berlangganan yang mempunyai kewenangan dibidang
pelayanan, dalam hal pelayanan pemkab sidoarjo bekerjasama dengan dishub
sidoarjo, perlu untuk melakukan pembenahan dalam sistem parkir di Sidoarjo.
Khususnya dalam pelayanan yang selama ini dikeluhkan para konsumen
(masyarakat).
Diharapkan Dishub
sebagai perwakilan pemkab Sidoarjo dalam pelaksanaan parkir berlangganan
melakukan tindakan sebagai berikut:
a.
Menindak tegas terhadap jukir yang
nakal,
b.
Melakukan evaluasi dalam perekrutan jukir,
c.
Memberikan pengawasan dan pengecekan yang
lebih ketat terhadap petugas jukir resmi,
d.
Mengkaji ulang gaji para jukir.
e.
Memberikan fasilitas yang layak kepada
pengawas
f.
Memperluas kawasan parkir berlangganan,
khususnya di daerah perbatasan.
g.
Memperbaiki sistem perparkiran yang
selama ini jukir tidak memberikan bukti karcis resmi bagi pengendara motor yang
berlangganan, supaya memberikan bukti karcis yang bertujuan untuk bukti apabila
terjadi kehilangan kendaraan bermotor.
h.
Sering melakukan sosialisasi ke setiap
kelurahan/Desa yang bertujuan supaya masyarakat antusias dan mendukung program
parkir berlangganan
2
Dalam penyelesaian sengketa konsumen
sebaiknya pemkab membuat suatu tim untuk menangani keluhan konsumen dalam
bentuk badan pengaduan masyarakat. Upaya penyelesaian sengketa konsumen melalui
upaya yang persuasif lebih efektif daripada melakukan upaya-upaya hukum,
mengingat upaya hukum memerlukan proses yang ribet, biaya mahal, tenaga dan
waktu yang cukup lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar